Wantimpres sebagai State salah satu State Auxiliary Bodies



PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Lembaga penunjang atau State Auxiliary Bodies merupakan gejala yang dapat dikatakan baru dalam dinamika penyelenggaraan kekuasaan Negara modern. Menurut Montesquieu, lembaga Negara idealnya hanya terdiri atas tiga lembaga utama penyelenggara kekuasaan Negara yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Namun sejak lahir abad ke-19 dengan munculnya tntutan agar Negara mengambil peran lebih besar dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka jumlah lembaga-lembaga Negara semakin bertmabah banyak pula sesuai dengan tuntutan kebutuhan sesuai dengan doktrin Negara Kesejahteraan (Welfare State).
UUD 1945 telah 4 kali diamandemen karena tuntutan adanya perubahan secara mendasar. Perubahan-perubahan tersebut nampaknya sampai sekarang masih juga belum memenuhi kebutuhan untuk membangun Negara yang demokratis. Konsekuensi dari 4 (empat) kali amandemen UUD 1945 salah satunya adalah dengna lahirnya State Auxiliary Bodies yang merupakan wajah baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Hal ini dapat dikatakan bagian dari penerapan prinsip Sharing of Power. Istilah State Auxiliary Bodies dipadankan dengan lembaga yang melayani, lembaga penunjang, lembaga bantu dan lembaga Negara pendukung, istilah tersebut diberikan sebagai pembeda dari lembaga Negara utama.
Dibentuknya State Auxi liary Bodies disamping merupakan kebutuhan untuk menyeleseaikan tugas dengan cepat, gejala ini mungkin menunjukkan kurang efektif dan efisiennya Kementrian dan Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK). Bias juga karena kekurangpercayaan kepada institusi yang sudah ada sehingga dibentuk lembaga baru. Ada beberapa lembaga yang lahir seperti Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Hukum Nasional, Badan Narkotika Nasional.
Pembentukan Lembaga dan Komisi Negara ini memiliki dasar hukum yang berbeda-beda. Ada yang dibentuk berdasarkan UUD 1945, ada yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang, ada yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden, ada yang dibentuk berdasarkan kewajiban Internasional.
Secara garis besar State Auxiliary Bodies dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1.      Legislative Primary
Legislative Primary yaitu State Auxiliary Bodies yang masuk dalam rana legislatif, umunya State Auxiliary Bodies berada pada level primary. State Auxiliary Bodies dalam kategori ini melaksanakan fungsi pengawasan dan perumusan kebijakan bidang tertentu yang memerlukan sifat independen agar imun dari pengaruh pihak atau kepentingan manapun. Dasar hukum pembentukannya adalah Undang-Undang.
2.      Executive Primary
Executive Primary yaitu  State Auxiliary Bodies yang masuk dalam rana eksekutif dan berada pada level primary yang memiliki fungsi pelaksanaan bidang tertentu yang independensi dalam melaksanakan tugasnya. State Auxiliary Bodies ini dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden atau Keputusan presiden.
3.      Executive Auxiliary
Executive Auxiliary yaitu State Auxiliary Bodies yang masuk dalam rana eksekutif pada umumnya pada level auxiliary. Pada kategori ini terdapat 2 jenis State Auxiliary Bodies yang berbeda yaitu State Auxiliary Bodies yang berfungsi melakukan koordinasi (coordinating) dan State Auxiliary Bodies yang berfungsi memberikan saran atau rekomendasi kebijakan kepada Presiden (advisory).
Dalam hal ini penulis akan lebih berfokus pada Dewan Pertimbangan Presiden sebagai salah satu Eksekutif State Auxiliary Bodies yaitu lembaga penunjang atau lembaga bantu di bawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden.

B.     Permasalahan
Bagaimana kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden sebagai salah satu State Auxiliary Bodies dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?

C.    Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden sebagai salah satu State Auxiliary Bodies dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

PEMBAHASAN

A.    Tinjauan Umum  Dewan Pertimbangan Presiden
1.      Sejarah Terbentuknya Dewan Pertimbangan Presiden
Dalam rangka pembahasan tentang organisasi dan kelembagaan Negara, dapat dilihat apabila kita mengetahui arti dari lembaga Negara dan hakikat kekuasaan yang dilembagakan atau diorganisasikan kedalam bangunan kenegaraan. Intinya apa dan siapa yang sesunggunhnya yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Negara.[1] Disamping mengatur proses pembagian kekuasaan, UUD juga mengatur hubungan kewenangan dan mekanisme kerja antarlembaga Negara dalam penyelenggaraan Negara. Prinsip kedaulatan rakyat yang teruwujudkan dalam peraturan perundang undangan tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan Negara dan pemerintahan untuk menjamin tegakknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi.[2]
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tugas pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden telah dikenal dan berlangsung sejak lama yang dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan pelaksanaannya diatur dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung, dan telah diubah dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 1978 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung.
Sebelumnya pada jaman pemerintahan Kolonial Belanda sudah pernah ada suatu lembaga penasihat yang bernama Raad Van Nederlandsch Indie yang tugas dan fungsinya tidak jauh berbeda dengan Dewan Pertimbangan Agung.[3]
Dewan Pertimbangan Agung merupakan salah satu lembaga negara yang dihapuskan dalam perubahan keempat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum perubahan, Dewan Pertimbangan Agung diatur dalam bab tersendiri, yaitu BAB IV Dewan Pertimbangan Agung. Setelah perubahan, keberadaan Dewan Pertimbangan Agung diganti dengan suatu dewan yang ditempatkan dalam satu rumpun bab yang diatur dalam BAB III Kekuasaan Pemerintahan Negara. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan suatu dewan yang mempunyai tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden masih tetap diperlukan, tetapi statusnya menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara yang berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Keberadaan dewan pertimbangan tersebut dituangkan pada Pasal 16 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam Undang Undang.[4]
Dewan Pertimbangan Presiden periode pertama dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang yudhoyono dengan Keputusan Presiden Nomor 28/M tahun 2007 pada tanggal 26 Maret 2007 dan dilantik pada tanggal 10 April 2007 yang terdiri dari beberapa bidang yaitu bidang hubungan internasional, bidang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, bidang politik, bidang ekonomi, bidang kehidupan beragama, bidang pertahanan dan keamanan, bidang hukum, bidang sosial dan budaya dan bidang pertanian.
2.      Tujuan Pembentukan Dewan Pertimbangan Presiden
Tujuan pembentukan Dewan Pertimbangan Presiden adalah untuk memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai bidang-bidang tertentu dalam mengambil keputusan.
Dewan Pertimbangan Presiden yang selanjutnya disebut Wantimpres mempunyai tugas fungsi dan wewenang yang diatur dalam UU nomor 19 tahun 2006 tentang Dean Pertimbangan Presiden. Tugas Wantimpres sebagai berikut:[5]
·         Dewan Pertimbangan Presiden bertugas memberikan pertimbangan dan nasihat ke[ada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan Negara,
·         Pertimbangan dan nasihat sebagaimana dimaksud wajib dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden baik diminta maupun tidak diminta oleh Presiden,
·         Pertimbangan dan nasihat yang dimaksud disampaikan baik secara perorangan maupun sebagai satu kesatuan pertimbangan dan nasihat seluruh anggota.
Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Pertimbangan Presiden malaksanakan fungsi
nasihat dan pertimbangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan Negara.[6] Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Dewan Pertimbangan Presiden tidak dibenarkan untuk memberikan keterangan, pernyataan dan atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan ke pihak manapun.

B.     Kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Jabatan rangkap Presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan memaksa Presiden untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang dianggap penting demi kepentingan Negara. Presiden tidak mampu bekerja sendiri dalam mengambil suatu keputusan, akan tetapi Presiden membutuhkan pertimbangan dan nasihat sehingga peran suatu dewan secara khusus memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sangat diperlukan sehingga dibentuklah Dewan Pertimbangan Presiden. 
Dalam Pasal 16 UUD 1945 mengatur tentang kekuasaan Presiden untuk membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Hal ini menjadi dasar pembentukan Dewan Pertimbangan Presiden melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
Dewan Pertimbangan Presiden merupakan Executive Auxiliary yaitu State Auxiliary Bodies yang masuk dalam rana eksekutif yang berfungsi memberikan saran atau rekomendasi kebijakan kepada Presiden (advisory), sehingga bahwa Dewan Pertimbangan Presiden masuk dalam struktur kelembagaan eksekutif tetapi tidak melaksanakan tugas sebagai eksekutif. Pada awalnya keudukan Dewan Pertimbangan Presiden adalah lembaga tinggi Negara dimana diatur pada BAB IV UUD 1945 sebelum amandemen keempat yang disebut Dewan Pertimbangan Agung. Hal ini dianggap tidak efektif karena dibentuknya juga Badan penasihat ekstra konstitusionil sehingga menimbulkan kesan bahwa DPA tidak lagi dibutuhkan sehingga agar lebih efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka diletakkan dibawah kekuasaan Presiden.
Dalam UUD 1945 dan dipertegas dengan UU nomor 19 tahun 2006 menyatakan bahwa Dewan Pertimbangan Presiden mempunyai kedudukan di bawah Lembaga Kepresidenan. Ini tentu menunjukkan bahwa Dewan Pertimbangan Presiden yang tidak jauh dari bentuk, tugas dan fungsinya bahkan dapat lebih dekat Lembaga Kepresidenan dan bertanggung jawab juga terhadap putusan atau kebijakkan Presiden.[7] Keberadaan Dewan Pertimbangan Presiden bukanlah sesuatu yang menjadi penambah kekuatan bagi seorang Presiden melainkan harus menjadi control dalam membantu Presiden membuat kebijakan Negara. Hal ini sesuai dengan pernyataan Montesqiue bahwa lembaga-lembaga berfungsi mengontrol kekuasaan presiden, karena tanpa adanya control dari kekuasaan tersebut akan ada kencenderungan terjadinya penyimpangan kekuasaan.
Dewan Pertimbangan Presiden ini masuk dalam badan ekstra struktural yaitu badan yang bertugas membantu kinerja dari Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan namun keberadaannya di luar dari struktur organisasi kementerian, departemen ataupun lembaga pemerintahan non departemen. Sifat dari badan ekstra structural ini sebatas diperlukan tetapi bukan berarti Dewan Pertimbangan Presiden adalah suatu lembaga Ad Hoc karena Pasal 16 UUD 1945 diamanatkan bahwa Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang.
           


















Gambar 1.
Kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia[8]
Presiden Republik Indonesia
Menteri Sekretaris Negara
Sekretaris
Dewan Pertimbangan Presiden
Dewan Pertimbangan Presiden
 












Keterangan :
                                          Garis Tanggung Jawab
                                          Garis Koordinasi

Dewan Pertimbangan Presiden bukan merupakan suatu lembaga kementerian atau departemen melainkan merupakan suatu badan ekstra struktural seperti yang telah dijelaskan diatas, oleh sebab itu Dewan Pertimbangan presiden tidak mempunyai kewenangan yang lebih selain memberikan pertimbangan dan nasihat kepada Presiden baik diminta maupun tidak diminta. Lembaga ekstra struktual ini dapat dikepalai oleh menteri, wakil presiden maupun oleh presiden sendiri.
Meskipun berfungsi sebagai suatu lembaga penasihat, namun Dewan Pertimbangan Presiden tetap menjadi mitra strategis Presiden untuk mendapatkan cakrawala pandang dalam menyikapi persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah dihadapi, serta kebutuhan akan adanya jalan keluar yang tepat, pas serta bijaksana. Oleh karena itu perlu diperjelas tentang posisi strategisnya dalam sinergitas fungsional di jajaran kelembagaan lainnya dalam skema pemerintahan yang sedang berjalan. Kewenangannya menurut hukum juga dimaksudkan untuk memberikan landasan secara normatif ketika memberikan masukan kepada Presiden RI terkait pengambilan kebijakan dan keputusan penting Negara.[9]
Meskipun Wantimpres terlahir sebagai reinkarnasi dari Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang sebelumnya berkedudukan sejajar dalam posisinya sebagai lembaga tinggi negara terhadap lembaga tinggi negara yang lainnya. Namun situasinya menjadi lain ketika Indonesia telah memasuki era globalisasi - interkoneksi antar kawasan dunia, serta kehidupan masyarakat dunia yang kian inklusif (interelasi). Utamanya, kondisi IPOLEKSOSBUDHANKAMNAS Republik Indonesia yang selalu berkembang secara dinamis pada era demokrasi yang sesungguhnya. Praktis kondisi itu mengharuskan terbinanya suatu ketahanan nasional yang maksimal, sekaligus dinamisasi dalam konteks hubungan regional/internasional, progresifitas kebijakan dalam menyikapi fenomena perubahan peradaban.[10] Wantimpres seharusnya memperkuat kemampuan menempatkan diri lebih ke arah menjaga spirit pemerintahan yang selalu berjalan sesuai amanat konstitusi, sehingga senantiasa dapat bertahan dalam posisi yang on the right track, melalui peranannya untuk memberikan berbagai masukan, khususnya dalam bentuk rekomendasi kepada Presiden Republik Indonesia. Sehingga fungsinya harus bersifat aktif bukan pasif, sesuai koridor yang telah ditentukan. Semestinya, organisasi Wantimpres yang hanya terdiri dari 1 (satu) orang Ketua merangkap Anggota sebanyak 8 (delapan) orang dengan bantuan kesekretariatan tidak terlalu menekankan atas agenda terkait olah-mengolah data, karena peranan Wantimpres seharusnya lebih kearah coaching for president menurut hukum/peraturan-perundangan serta dimensi pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana dimaksud.
Karena itu, bagi Anggota Wantimpres akan tetap mempertaruhkan 'jam terbang', dedikasi, pengalaman, integritas, kredibilitas, kapasitas, responsifitas, dan semangat nasionalisme yang teruji. Pengabdian anggota Wantimpres sesungguhnya harus mampu membuka cakrawala pandang Presiden Republik Indonesia agar lebih jelas melihat haluan negara. Haluan Negara dengan segala komprehensifitas dalam entitas kehidupan nasional. Sehingga melalui peranan Wantimpres sebagai mitra kerja Presiden Republik Indonesia dapat menjaga arah atau visi pemerintah tersebut agar selalu fokus untuk melaksanakan fungsi eksekutif secara berdayaguna dan berhasilguna sesuai situasi apapun, sampai pada berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia. Wantimpres semestinya dapat mengkanalisasikan aspirasi publik dan berbagai temuan atas realitas yang berkembang pada segenap dimensi dan organ pemerintahan yang sedang berjalan, khususnya untuk rumah-tangga kepresidenan sesuai peraturan-perundangan. Maka dari itu, olah data hanya sebagai pembanding atas berbagai data dan informasi yang ada di berbagai organ pemerintah yang formil. Oleh karena itu, kanalisasi informasi antar kelembagaan perlu dijalankan baik terhadap posisi kekuasaan di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Disamping keberadaan dari Badan dan Kelembagaan negara lainnya yang dianggap perlu.
Dengan kapasitas yang dimiliki maka tentunya Wantimpres memiliki kemampuan untuk membaca arah perubahan atau fenomena dan tingkah-laku aspirasi publik dalam menyikapi kebijakan Presiden Republik Indonesia dalam masa kepemimpinannya. Untuk itu, harus dapat menjaga kondisi interlokasi, dan interelasi kepentingan nasional untuk mempertahankan keutuhan NKRI. Namun demikian, barometer yang melekat pada Wantimpres tentunya terletak pada konsistensi kenegarawanan yang telah memahami sendi-sendi politik strategis negara dalam eksistensi kedaulatan NKRI di dalam pergaulan global. tugas, fungsi dan kedudukannya harus mampu melakukan sinergitas secara intensif terhadap tupoksi beberapa Lembaga Negara terkait, utamanya: Kementerian Koordinator (MENKO), Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (BAPPENAS RI), Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (KEMHAN RI), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (KEMLU RI), Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (KEMENDAGRI), Kementerian Keuangan Republik Indonesia (KEMENKEU RI), Kementerian Komunikasi dan Informatika (KEMENKOMINFO RI), Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia (KEMENKUMHAM RI), Dewan Ketahan Nasional (WANTANNAS), dan kelembagaan lainnya yang dianggap perlu. Meskipun hal ini sebagian telah dijabarkan di dalam UU Tentang Wantimpres.
Oleh karena itu, penambahan Anggota Wantimpres memungkinkan dilakukan agar keberadaanya lebih efektif, dibandingkan dengan upaya membangun kompleksitas kesekretariatan Wantimpres semata. Kesekretariatan hanya menjadi supporting system, sementara itu, khusus bagi Wantimpres yang sangat diperlukan adalah kapasitas sosoknya dengan karakteristik sebagaimana dimaksud. Karena itu, keterlibatan Wantimpres dalam rapat kabinet, kunjungan kerja apabila diminta oleh Presiden masih relevan, dan diperlukannya kebutuhan aspek teknis yang menunjang efektifitas tupoksinya. Sehingga terhindar dari sikap pandang publik, yang menganggap bahwa Wantimpres berpotensi menjadi the second opinion atas berbagai masalah nasional yang berkembang.


























PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dewan Pertimbangan Presiden merupakan Executive Auxiliary yaitu State Auxiliary Bodies yang masuk dalam rana eksekutif yang berfungsi memberikan saran atau rekomendasi kebijakan kepada Presiden (advisory), sehingga bahwa Dewan Pertimbangan Presiden masuk dalam struktur kelembagaan eksekutif tetapi tidak melaksanakan tugas sebagai eksekutif. Pada awalnya keudukan Dewan Pertimbangan Presiden adalah lembaga tinggi Negara dimana diatur pada BAB IV UUD 1945 sebelum amandemen keempat yang disebut Dewan Pertimbangan Agung. Hal ini dianggap tidak efektif karena dibentuknya juga Badan penasihat ekstra konstitusionil sehingga menimbulkan kesan bahwa DPA tidak lagi dibutuhkan sehingga agar lebih efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka diletakkan dibawah kekuasaan Presiden.
Dewan Pertimbangan Presiden ini masuk dalam badan ekstra struktural yaitu badan yang bertugas membantu kinerja dari Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan namun keberadaannya di luar dari struktur organisasi kementerian, departemen ataupun lembaga pemerintahan non departemen. Sifat dari badan ekstra structural ini sebatas diperlukan tetapi bukan berarti Dewan Pertimbangan Presiden adalah suatu lembaga Ad Hoc karena Pasal 16 UUD 1945 diamanatkan bahwa Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang.











DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Fatwa A.M, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Kompas, Jakarta.
Jimly Asshidiqie, 2005, Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung, Konstitusi Press, Jakarta.

Undang-Undang:
Undang-Undang Dasar Negara Kesaturan Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden


Website:


http://www.wantimpres.go.id/TentangWantimpres/KedudukanWantimpres/tabid/78/Default.aspx























[1] A.M Fatwa, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Kompas, Jakarta, hlm. 8
[2] Ibid. hlm. 9
[3] Jimly Asshidiqie, 2005, Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung, Konstitusi Press, Jakarta, Hlm.10
[4] http://www.wantimpres.go.id/TentangWantimpres/KedudukanWantimpres/tabid/78/Default.aspx
[5] Undang-Undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden Pasal 4
[6] Ibid. Pasal 5
[8] www.wantimpres.go.id
[9] http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16289&type=5#.VE7vumdbfDc
[10] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS PUTUSAN MK NOMOR 46/PUU-VIII/2010

MPLEMENTASI ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DALAM HUKUM INDONESIA

PANDANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES TENTANG THE RULE OF LAW