PANDANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES TENTANG THE RULE OF LAW



PANDANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES TENTANG
THE RULE OF LAW
A.    Latar Belakang
Posmodern di bidang hukum yang sering juga disebut Critical (posmodern) Legal Studies, muncul setelah dunia filsafat modern mengalami gugatan tentang “berakhirnya Modernisme” yang menunjuk pada berakhirnya anggapan modern tentang “subyek” dan “dunia obyek”, yang seolah sepenuhnya mandiri menanti subyek yang akan membuat representasi mental tentangnya saja. Posmodern dimengerti sebagai upaya untuk mengungkap segala konsekuensi dari berakhirnya modernisme itu beserta metafisika tentang fondasionalisme dan representasionalismenya[1].
Dilingkungan ilmu hukum ada dua teori hukum modern yakni teori hukum positivisme hukum yang memunculkan pandangan tentang hukum dalam prespektif normatif dan aliran realism hukum seperti yang dibawa oleh Sosiological Jurispurudence Roscoe Pound maupun Utilitarianisme hukum Jeremy Bentham yang memandang hukum sebagai produk sosiologis. Kendati kedua paradigma teori besar di bidang hukum tersebut dimasukkan dalam era pemikiran hukum modern, namun jika dibandingkan dengan kemunculan aliran (teori) posmodern hukum, maka jelas kedua paradigma teori hukum tersebut masuk dalam kategori Traditional Legal Studies, karena kedua paradigma teori hukum ini dalam pandangan filsafat modernisme  kajian utamanya adalah membahas tentang fenomena hukum jika dilihat dari aspek  “subyek” dan “dunia obyek” di bidang hukum.
Critical Legal Studies mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang ada merupakan penggunaan kepercayaan dan asusmsi yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas hubungan antara manusia. Struktur kepercayaan atau ideology tersebut memiliki potensi terselubung dalam dunia tendensinya untuk mempertahankan dinamikanya sendiri untuk menciptakan doktrin hukum yang menyalahkan kondisi dan alam. Bagi Critical Legal Studies, kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.
Kemunculan Critical Legal Studies telah begitu melabrak hakikat-hakikat pandangan orang modern terhadap hukum. Dalam pandangan yang telah melekat sebelum aliran hukum ini melabraknya, hukum itu idealnya sebagai berikut:[2] 
·         Harus dirumuskan dalam rumusan yang tegas, dan jelas demi kepastian hukum melalui proses politik yang disebut demokratis.
·         Memiliki sifat formalisasi (menghasilkan hukum positif) dalam bentuk peraturan-peraturan resmi yang ukurannya dipandang paling kuat karena telah melalui prosedur resmi yang telah dibuat oleh otoritas yang berwenang, sehingga diluar peraturan hukum formal adalah tidak kuat untuk menyelesaikan suatu perkara.
·         Dipandangnya bahwa peraturan hukum itu pada hakikatnya bertingkat (hierarkhi), dimana peraturan hukum yang lebih tinggi mendasari keberadaan peraturan hukum yang lebih rendah dan sebaliknya peraturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi.
·         Hukum formal itu haruslah dicermati oleh para ahli dan professional agar benar dalam kedudukannya dan benar dalam keberlakuannya supaya dapat menjamin HAM.
Dalam situasi yang memunculkan hukum birokratis, penguasa atau kelompok yang berkuasa bias melihat masyarakat dari sudut pandang doktrin instrumentalis. Dalam situasi yang baru ini, tatanan sosial harus ditegaskan lewat cara tertentu selain menghayati pedoman tersirat tentang kewajiban timbale balik. Hukum publik dan hukum positif menjadi sarana untuk memanipulasi relasi sosial atas nama kebijakan-kebijakan yang sengaja dipilih oleh kelompok-kelompok yang berkuasa. [3]

B.     Permasalaham
Bagaimana Pandangan Critical Legal Studies tentang Rule of Law?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pandangan Critical Legal Studies tentang The Rule of Law
2.      Sebagai persyaratan untuk memperoleh nilai Ujian Tengah Semester mata kuliah Teori Hukum.











PEMBAHASAN
A.    Critical Legal Studies
Critical (posmodern) Legal Studies hadir sekitar tahun 1977 sebagai respon atas terjadinya pergulatan panjang di lingkungan ilmu hukum khususnya adanya pertentangan antara teori positivisme hukum dan teori realisme hukum di AS. Critical Legal Studies menjadi pilihan epistimologis untuk menjawab tantangan ditengah-tengah kedua paradigma hukum tersebut. Slogan paling terkenal dalam Critical legal Studies adalah hukum tak bebas nilai, dan tak netral.[4] Slogan seperti itu menjadi visi Critical Legal Studies karena dua paradigma hukum yang bergulat pada saat itu, yakni teori positivisme hukum dan teori realisme hukum tidak mampu menjawab tentang kebutuhan hukum dalam menghadapi tuntutan kaum minoritas tertindas, menguatnya pluralisme, HAM, anti-diskriminasi, dan kebebasan.
Bagi aliran hukum kritis ini bahwa hukum yang digunakan oleh hukum modern sebagai wujud demokrasi dan pasar adalah bohong dan tak pernah ada. Hukum yang bagi hukum modern sudah built in dengan demokrasi das sollen-nya sama halnya dengan hukum responsif, namun das sein-nya pada pembentukan hukum formal dalam pencaturan politik senantiasa melalui prosedur tarik menarik atau tawar menawar kepentingan pihak-pihak yang tergabung dalam otoritas yang berwenang itu.[5] Fokus sentral dari Critical Legal Studies adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum, dan praktek institusi hukum yang menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan tidak egaliter. Teori kritis untuk mengembangkan alternative radikal dan untuk menjajaki peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan sosial yang dapat dorongan terciptanya emansipasi kemanusiaan.[6]
Sesungguhnya Critical Legal Studies tetap mengakui pentingnya norma-norma hukum dalam proses baik pembentukan hukum (in abstraco) maupun penyelesaian sengketa (law inconcreto). Ini berarti Critical Legal Studies mengakui pentingnya penguasaan yang baik terhadap materi-materi hukum berupa norma atau kaidah-kaidah hukum (disebut relasi internal) terlebih dahulu sebelum mengaitkannya dengan realitas hubungan sosial, politik, ekonomi dan budaya (relasi internal).[7]
Ifdal Kasim menyebutkan bahwa banyak varian arus pemikiran paradigmatic dan politis penganut Critical Legal Studies di Amerika, jika disederhanakan diwakili oleh tiga arus pemikiran berturut-turut:
1.      Arus pemikiran yang diwakili oleh Roberto M. Unger menekankan dua paradigma yang saling bersaing dalam mengkritisi paradigm hukum liberal (liberal legalism paradigm) yakni paradigm konflik dan paradigm consensus.
2.      Arus pemikiran yang diwakili oleh David Kaiyrs mewarisi tradisi hukum Marxis atau tepatnya kritik Marxis[8] terhadap hukum liberal yang dipandang hanya melayani sistem kapitalisme.
3.      Arus pemikiran yang diwakili oleh Duncan Kennedy, menggunakan metode “eklitis” yang membaurkan sekaligus prespektif strukturalis, fenomenologis dan neo-marxis.
Meskipun kelompok-kelompok Critical Legal Studies berbeda orientasi politik dan metode ilmiah yang digunakan, tetapi mereka memiliki kesamaan pemikiran dalam mengkritisi paradigm liberal legalisme dari ‘hukum modern” yang berwatak liberal. Inti pemikirannya adalah: [9]
·         Menolak paham liberalism yang hanya berorientasi pada kepentingan kaum kapiltalis (pemilik modal)
·         Hukum positif baik peraturan perundang undangan, maupun dalam penerapannya merupakan produk politik, karena itu hukum tidak obyektif dan tidak pernah netral dari kepentingan politik.
·         Doktrin Rule of Law dengan prinsip equality before the law hanyalah ilusi yang tidak pernah menjadi realitas dalam masyarakat, karena sejatinya masyarakat modern berada dalam kesenjangan sosial, ekonomi, politik, ada kaum miskin, minoritas, elit penguasa sehingga praktek menunjukkan bahwa hukum menguntungkan para elit dan kapitalis.
·         Analisis-analisis paradigm legalisme liberal mengaburkan realitas dan lebih mengutamakan prosedur formal, sehingga melahirkan keputusan keputusan yang seolah-olah adil (keadilan procedural)
·         Tidak ada interpretasi atau penafsiran terhadap doktrin hukum tetapi penafsiran paradigm legalisme liberal selalu bersifat subyektif dan kental muatan politik.
Kritik terhadap teori hukum sangat penting untuk mengkonstruksikan kembali teori hukum agar lebih lengkap dan komprehensif. Pendek kata kritik terhadap teori hukum harus mampu mendekonstruksikan teori hukum agar tetap relevan dalam “menangkap” kebutuhan masyarakat terhadap hukum. Sehubungan dengan hal ini Cotterrell memberikan gambaran tentang bagaimana seharusnya mengkritisi teori hukum, yaitu:[10]
Pertama; suatu teori tidak dapat ditujukan untuk menghasilkan suatu konsep tunggal yang bersifat universal mengenai peta hukum (map of law); banyaknya yang dapat dihasilkan tergantung dari penyusunan peta hukum tersebut. Harapannya adalah suatu saat dapat dibangun teori yang terintegrasi dengan perluasan wawasan tentang perbedaan pandangan yang diakui dan sah.
Kedua; landasan kekuasaan yang berasal dari teori hukum normatif melekat karakteristik kontroversial, di satu sisi bersifat mistis dan di sisi lain berada di luar jangkauan hukum di mana para ahli hukum pun tidak dapat memahaminya.
Ketiga; persoalan mengenai hukum sebagai satu kesatuan yang sistemik dan terstruktur perlu direnungkan kembali. Bagi para ahli hukum, doktrin hukum memerlukan sesuatu yang melembaga dan terstruktur, dan seharusnya teori hukum normatif telah direncanakan dan dirasionalisasikan untuk menemukan hal ini.
Keempat; mengenai penafsiran hukum. Diperlukan pendalaman mengenai komunitas penafsiran, bagaimana mereka bekerja dan bagaimana kekuasaan memberikan  suatu penafsiran yang mengikat sebagai hukum.
Kelima; selama penilaian mengenai kesusilaan dipisahkan dari norma hukum, maka selama itu hubungan antara hukum dan kesusialaan tetap tidak jelas. Hukum kontemporer yang digambarkan aliran post-modernisme adalah ethically barren, dan kesusilaan seperti itu diciptakan oleh hukum. Makna kesusilaan dalam hukum saat ini tampak sangat bermasalah sehingga diperlukan klarifikasi tentang makna senyatanya dalam konteks isu etika yang muncul dalam hubungan antara manusia dan dalam kerangka kesusilaan yang tersedia untuk mengakomodasi kehidupan masyarakat masa kini”.
Gambaran diatas menunjukkan bahwa teori hukum tidak harus menjadi satu konsep yang baku dan berlaku terus menerus untuk menjawab segala persoalan masyarakat. Kritik terhadap teori hukum menunjukkan bahwa teori hukum tetap akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Oleh sebab itulah keberadaan Critical Legal Studies dapat dikatakan teori baru di bidang hukum sejalan dengan tumbuhnya pemikiran postmodernisme di bidang filsafat yang melakukan kritik-kritik atas gambaran dunia (world view), kritik epistimologis dan ideologi-ideologi modern.[11]
Kelebihan critical legal studies terdiri dari berbagai macam pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian ortodok sampai pada pemikiran post-modern. Ada beberapa kesepahaman antara pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkhis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur sosial. Kekritisan critical legal studies dalam memahami realitas sosial dan tata hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praksis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis adalah kelebihan utama critical legal studies. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut netral dan benar secara obyektif.[12]
Kelebihan lain dari critical legal studies adalah perhatiannya yang sangat besar erhadap pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial. Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis Kant-ian yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan industri sehingga menimbulkan keterasingan individu subyektif karena tersedot arus budaya massa yang abstrak. Namun teori ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Sebagaimana pemikiran kritis, apabila tidak digunakan secara tepat dengan mengingat tujuan dan batas penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme. Atau paling tidak terjebak pada lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan wacana sehingga melupakan tugas praktis terhadap masyarakat.
Kelemahan lain adalah dari sifat asli pemikiran kritis yang selalu dalam dirinya sendiri melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak selalu terjadi. Padahal realitas masyarakat selalu cenderung mempertahankan nilai-nilai dan tatanan lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa. Akibatnya critical legal studies sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama critical legal studies adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh orang lain. [13]

B.     The Rule of Law
Dalam pengertian Negara hukum klasik terdapat dua tipe pokok Negara hukum yaitu
a.       Type Eropa Continental, yang berdasarkan pada kedaulatan hukum (rechtsouvereiniteit) yang berintikan Rechstaat (Negara hukum).
b.      Type Anglo Saxon yang berintikan The Rule of Law.
Rule of law adalah isitilah dari tradisi common law dan berbeda dengan persamaannya dalam tradisi hukum continental yaitu Negara yang diatur oleh hukum. Keduanya memerlukan prosedur yang adil, dua proses dan persamaan di depan hukum, tetapi rule of law juga sering dianggap memerlukan pemisahan kekuasaan, perlindungan Hak Asasi Manusia tertentu dan demokratisasi. Rule of Law dan Negara hukum semakin mirip dan perbedaan diantara kedua konsep tersebut menjadi kurang tajam.
Latar belakang berdirinya rule of law adalah diawali oleh adanya gagasan untuk melakukan pembatasan kekuasaan pemerintahan Negara, sarana yang dipilih untuk maksud tersebut yaitu demokrasi konstitusional. Perumusan yuridis dari demokrasi konstitusional adalah konsepsi Negara hukum.
Rule of Law adalah doktrin yang muncul pada abad ke-19, seiring dengan Negara konstitusi dan demokrasi. Rule of Law adalah konsep tentang common law yaitu seluruh aspek Negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian, rule of the law adalah rule by the law bukan rule by the man. Gerakan masyarakat yang mengehendaki kekuasaan raja maupun penyelenggara Negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan perundang-undangan itulah yang disebut The Rule of Law.
Gerakan revolusi Prancis serta gerakan melawan absolutism di Eropa lainnya, baik dalam melawan kekuasaan raja,bangsawan maupun golongan teologis. Oleh karena itu menurut Friedman, antara pengertian Negara hukum atau rechtsstaat dan rule of law sebenarnya saling mengisi.[14] Berdasarkan bentuknya sebenarnya rule of law adalah kekuasaan public yang diatur secara legal. Setiap organisasi atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk Negara mendasarkan pada rule of law.  
Paham rule of law di Inggris diletakkan pada hubungan antara keadilan dan hukum, di Amerika diletakkan pada hak-hak asasi manusia dan di Belanda rule of law lahir dari paham kedaulatan Negara. Melalui paham kedaulatan hukum untuk mengawasi pelaksanaan tugas kekuatan pemerintah. Di Indonesia inti dari dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi seluruh masyarakatnya, khususnya keadilan sosial.
Ciri sebuah Negara hukum adalah mempunyai supremasi hukum, jaminan hak asasi manusia, legalitas hukum dan peradilan yang bebas. Pada Negara hukum peraturan perundang undangan yang berpuncak pada Undang-Undang Dasar merupakan satu kesatuan sistem sebagai landasan bagi setiap penyelenggara kekuasaan. Friedman membedakan Rule of Law menjadi dua yaitu pengertian secara formal (in the formal scence) dan pengertian secara materil (ideological scence). Secara formal rule of law diartikan sebagai kekuasaan umum yang teroganisir (organized public power), hal ini dapat diartikan bahwa setiap Negara mempunyai aparat penegak hukum yang menyangkut ukuran yang baik dan buruk (just anfunjust law).[15]
Sedangkan menurut Albert Venn Dicey dalam bukunya “Introduction to the Law of the Conctitution” memperkenalkan istilah Rule of Law secara sederhana. Rule of Law diartikan sebagai suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey, terdapat tiga unsur yang fundamental dalam Rule of Law yaitu[16] :
·         Supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan yang sewenag-wenang dalam arti seseorang hanya boleh dihukum jika memang melanggar hukum.
·         Kedudukan yang sama di muka hukum, hal ini berlaku baik bagi masyarakat biasa maupun pejabat negara.
·         Terjamin hak-hak asasi manusianya oleh UU serta Keputusan-Keputusan UU.
Dalam melaksanakan pemerintahan yang demokrasi ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokrasi menurut rule of law[17]:
1.      Adanya perlindungan konstitusional
2.      Badan Peradilan yang bebas dan tidak memihak
3.      Pemilihan umum yang bebas
4.      Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5.      Kebebasan untuk berserikat, beroganisasi dan beroposisi
6.      Pendidikan kewarganegaraan
Pada haikiatnya, rule of law mempunyai fungsi agar adanya jaminan keadilan sosial bagi masyarakat terutama keadilan sosial. Dalam konstitusi Indonesia rule of law dijabarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu[18]:
Pasal 1 ayat (3)
Negara Indonesia adalah Negara hukum
Pasal 24 ayat (1)
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
Pasal 27 ayat (1)
Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D ayat (1) dan (2)
(1)   Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(2)   Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pemisahan Negara dari masyarakat menciptakan wahana institusional untuk kontrol bagi hukum public dan hukum positif yang menjadi sarana untuk memanipulasi relasi sosial atas nama kebijakan-kebijakan yang sengaja dipilih oleh kelompok-kelompok yang berkuasa. Kekuasaan dibenarkan oleh agama, tetapi otoritas religious ini diuji oleh keberhasilan pemerintah dalam menjamin ketertiban umum dan kemakmuran materi.  Dengan demikian, pandangan terhadap tatanan sosial yang berorientasi pada consensus paling baik diterapkan pada masyarakat-masyarakat yang di situ adat istiadat menjadi satu-satunya hukum signifikan. [19]
Pandangan instrumentalis mulai tumbuh dengan berkembangnya aturan birokratis. Konflik diantara dua modus tatanan itu mencapai puncaknya dalam bentuk kehidupan sosial yang menciptakan rule of law. Rule of law dicirikan oleh komitmennya kepada generalitas dan otonom. Ada perbedaan antara konsepsi rule of law yang lebih bebas dengan konsepsi rule of law yang lebih sempit. Konsepsi yang pertama selalu merupakan respons dominan yang khas terhadap situasi masyarakat liberal, sedangkan konsepsi yang kedua hanya muncul dalam situasi-situasi khusus.[20]
Dalam pengertian yang lebih luas, rule of law didefinisikan lewat gagasan tentang sifat netral (neutrality), seragam (uniformity) dan dapat diprediksikan (predictability). Penggunaan kekuasaan pemerintah harus berlangsung di dalam batasan-batasan peraturan yang berlaku bagi cukup banyak kategori orang dan tindakan. Segenap peraturan ini, apapun bentuknya, harus diberlakukan secara seragam. Dengan demikian, dipahami bahwa rule of law tidak ada hubungannya dengan muatan norma-norma hukum.
Kehendak pembuat undang-undang harus diwiujudkan lewat peraturan-peraturan umum. Pembuat undang-undang tidak dapat menghukum ataupun memihak individu-individu tertentu secara langsung, sehingga terhindar pula dari melakukan control personal secara langsung. Pelaksana undang-undang berurusan dengan individu hanya sebatas aturan-aturan yang ditentukan dan aturan-aturan itu bukan dia yang membuatnya. Maka berdasarkan hal ini, pelaksana undang-undang terhindar dari upaya penggunaan kekuasaan public untuk mencapai tujuan pribadi, sebab untuk bertindak dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, harus ada orang lain dengan kewenangan terakhir untuk menentukan makna hukum, dan dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang berbeda dengan metode administratif, yang dimaksud adalah hakim.
Agar pelaksanaan rule of law bias berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan, maka[21]:
1.      Keberhasilan “the enforcement of the rules of law harus didasarkan pada corak masyarakat hukum yang bersangkutan dan berpkepribadian masing-masing setiap bangsa.
2.      Rule of law yang merupakan intitusi sosial harus didasarkan pada budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa.
3.      Rule of law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan Negara, harus ditegakkan secara adil juga memihak pada keadilan.  
Untuk mewujudkan perlu hukum progresif yang memihak pada keadilan itu sendiri, bukan sebagai alat politik atau keperluan lain. Asumsi dasar hukum progresif bahwa hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya. Hukum progresif memuat kandungan moral yang kuat.
Asas kepastian hukum merupakan sebuah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara. Menurut Arief Sidharta bahwa Negara hukum menjamin kepastian hukum terwujud dalam masyarakat dan prediktibilitasnya sangat tinggi. Sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat predictable atau dapat diramalkan.[22]

C.    Pandangan Critical Legal Studies tentang The Rule of Law
Critical Legal Stduies dalam memandang konsep rule of law menganggap bahwa masyarakat tidak diatur oleh hukum yang obyektif, tetapi oleh hasil interpretasi penguasa. Oleh sebab itu tidak ada kecocokan, dan kesetaraan di hadapan hukum sejatinya hanyalah retorika. Pandangan seperti ini jelas menunjukkan kebenaran, karena dalam kontruksi pandangan teori Sosioligical Jurispridence sebagaimana digagas oleh Rescoe Pound dinyatakan “law as a tool of social engineering” mengandung makna bahwa rekayasa sosial sebagaimana digagas oleh Pound akan terwujud ketika penguasa mengintepretasikan kehendak untuk merekayasa masyarakat. Intepretasi ini akan semakin nampak ketika rekayasa masyarakat dilakukan melalui hukum yang memiliki karakteristik memaksa.
Dengan mempergunakan teori sosiological jurisprudence tersebut, maka rekayasa sosial yang dikehendaki penguasa akan ditempuh dengan mempergunakan sarana hukum. Sehubungan dengan hal ini Mochtar Kusuma Atmaja antara lain mengemukakan bahwa hukum berfungsi sebagai sarana penunjang modernisasi dan pembangunan menyeluruh, dilakukan dengan[23]:
a.    meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional antar lain dengan mengadakan pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat;
b.    menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing;
c.    meningkatkan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum.
Dengan mempergunakan perspektif teori hukum pembangunan Mochtar Kusuma Atmaja, maka pandangan dan kritikan Critical Legal Studies tentang the rule of law terhadap Teori-teori hukum modern adalah tepat adanya. Masyarakat tidak diatur oleh hukum yang obyektif, melainkan diatur oleh interpretasi penguasa yang dituangkan dalam hukum tertulis (Peraturan Perundang-undangan). ). Oleh sebab itu hukum dan Peraturan perundang-undangan tidak ada kecocokan, karena substansinya sangat tergantung oleh kehendak penguasa. Pemahaman seperti ini semakin menunjukkan kebenaran, ketika melihat bagaimana konsep-konsep kebijakan publik yang akan dikeluarkan oleh penguasa dituangkan dalam Program Legislasi Nasional.
Dalam setiap pembentukan atau perubahan kebijakan publik, termasuk undang-undang, setidaknya ada tiga jenis arus yang perlu dikelola-disinergikan dengan baik: (1) arus permasalahan (stream of problems), (2) arus kebijakan (stream of policies), dan (3) arus perpolitikan (stream of politics).[24]
Dalam arus permasalahan (stream of problems), isu utamanya terkait dengan bagaimana membangun agenda setting kebijakan publik. Dalam tahap agenda setting, ada beberapa pertanyaan yang sering diajukan: undang-undang apa saja yang perlu dibentuk/dirubah? Mengapa undang-undang itu perlu dibentuk/dirubah? Apa urgensi dan relevansinya dari pembentukan/perubahan undang-undang tersebut?
Dalam jalur policy stream of problems, biasanya memulai aktivitasnya dengan melakukan identifikasi masalah. Targetnya adalah mendapatkan kejelasan akan maslah, dan atas dasar rumusan itu ditawarkan solusi atas masalah. Oleh karena, setiap Undang-Undang yang akan dibentuk seharusnya dimulai dengan riset kebijakan, sehingga dalam bisa diketahui dengan jelas apa saja masalah yang ditemui, mengapa  masalah itu terjadi? Apakah solusi atas masalah itu perlu dimasukan dalam Undang-undang atau cukup di peraturan perundangan lainnya?  
Dalam Pasal 18, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa untuk menentukan proses kelahiran undang-undang bisa bersumber dari: perintah UUD; perintah TAP MPR; perintah UU lainnya; sistem perencanaan pembangunan nasional; sistem perencanaan pembangunan jangka panjang; sistem perencanaan pembangunan jangka menengah; rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; serta terakhir aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
Dengan demikian proses agenda pengaturan UU didasarkan oleh “arus atas” bahwa UU itu harus ada karena perintah Konstitusi ataupun kesepakatan elite di DPR-Pemerintah. Dalam arus atas ini sering muncul deviasi ketika proses pembentukan UU sering dijadikan semacama “ project” oleh Kementerian maupun alat kelengkapan DPR. Disisi lain , proses agenda setting  yang berasal dari “bawah”, walaupun dimungkinkan namun prosesnya tidak diatur dengan jelas.
Menurut Irving Swerdlow sebagaimana dikutip oleh Muchsan salah satu cara campur tangan pemerintah dalam proses pembangunan terhadap perkembangan kehidupan masyarakat dilakukan dengan pengendalian tak langsung (indirect control) lewat Peraturan Perundang-undangan  yang ada pemerintah (pen: penguasa) dapat menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk terlaksananya kegiatan tertentu, misalnya penggunaan devisa tertentu diperbolehkan asal untuk pembelian barang-barang tertentu.[25] Gambaran ini sekali lagi menunjukkan bahwa dalam konsep “the rule of law” sebagaimana dikemukakan Gary Saalman melalui Critical Legal Studies, hukum hanya dipergunakan sebagai “tempat” untuk menampung interpretasi penguasa dalam  mengatur masyarakat. Hal ini berarti masyarakat tidak diatur oleh hukum tetapi diatur oleh interpretasi penguasa yang mengatasnamakan hukum. 
Rule of law sangat diperlukan untuk negara seperti Indonesia karena dapat mewujudkan keadilan, tetapi harus mengacu pada orang yang ada di dalamnya yaitu orang-orang yang jujur tidak memihak dan hanya memikirkan keadilan tidak terkotori hal-hal buruk. Ada atau tidaknya rule of law pada suatu negara ditentukan oleh kenyataan, apakah rakyat menikmati keadilan dalam arti perlakuan adil baik sesama warga negara maupun pemerintah.





















PENUTUP

D.    Kesimpulan
Critical Legal Stduies dalam memandang konsep rule of law menganggap bahwa masyarakat tidak diatur oleh hukum yang obyektif, tetapi oleh hasil interpretasi penguasa. Oleh sebab itu tidak ada kecocokan, dan kesetaraan di hadapan hukum sejatinya hanyalah retorika. Pandangan seperti ini jelas menunjukkan kebenaran, karena dalam kontruksi pandangan teori Sosioligical Jurispridence sebagaimana digagas oleh Rescoe Pound dinyatakan “law as a tool of social engineering” mengandung makna bahwa rekayasa sosial sebagaimana digagas oleh Pound akan terwujud ketika penguasa mengintepretasikan kehendak untuk merekayasa masyarakat
Dengan mempergunakan perspektif teori hukum pembangunan Mochtar Kusuma Atmaja, maka pandangan dan kritikan Critical Legal Studies tentang the rule of law terhadap Teori-teori hukum modern adalah tepat adanya. Masyarakat tidak diatur oleh hukum yang obyektif, melainkan diatur oleh interpretasi penguasa yang dituangkan dalam hukum tertulis (Peraturan Perundang-undangan). ). Oleh sebab itu hukum dan Peraturan perundang-undangan tidak ada kecocokan, karena substansinya sangat tergantung oleh kehendak penguasa. Pemahaman seperti ini semakin menunjukkan kebenaran, ketika melihat bagaimana konsep-konsep kebijakan publik yang akan dikeluarkan oleh penguasa dituangkan dalam Program Legislasi Nasional.
Rule of law sangat diperlukan untuk negara seperti Indonesia karena dapat mewujudkan keadilan, tetapi harus mengacu pada orang yang ada di dalamnya yaitu orang-orang yang jujur tidak memihak dan hanya memikirkan keadilan tidak terkotori hal-hal buruk. Ada atau tidaknya rule of law pada suatu negara ditentukan oleh kenyataan, apakah rakyat menikmati keadilan dalam arti perlakuan adil baik sesama warga negara maupun pemerintah.



DAFTAR PUSTAKA
Buku:
AAGN Ari Dwipayana, 2011, Evaluasi Program Legislasi Nasional, Makalah FGD Prolegnas DPD-RI, Kerja sama DPD-RI dan FH-UAJY, Yogyakarta.
Arief Sidharta, 2004, Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum, Dalam Jentera (Jurnal Hukum), Rule Of Law, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), edisi 3, Tahun II, November, Jakarta.
Arief Sidharta, 2013, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum Dan Filsafat Hukum, Bandung: Refika Aditama.
Awaludin Marwan, 2012, Studi Hukum Kritis dari Modern, Posmodern hingga Posmarxis, Semarang: Satjipto Erahardjo Institute dan Thafa Media
I.Bambang Sugiarto, 1966, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta:Kanisius.
I. Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Malang: Setara Press.
Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Penerbit Bandar Maju.
Mochtar Kusuma Atmaja, 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung:Alumni.
Muchsan, 1999, Perwujudan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa dalam Negara Kesejahteraan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasrul, 2010, Rule of Law Dan Hak Asasi Manusia.
Philipus M. Hajon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi.
Roberto M. Unger, 2011, Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Bandung: Nusa Media.
Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta: Genta Publising.
Winarno. 2007. Paradigma Baru “Pendidikan Kewarganegaraan” Panduan Kuliah Di Perguruan Tinggi,Jakarta: PT.Bumi Aksara.


Website:







[1] I.Bambang Sugiarto, 1966, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 33.
[2] Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum Refleksi Kritis terhadap Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 208.
[3] Roberto M. Unger, 2011, Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Nusa Media, Bandung, hlm. 159-160.
[4] Awaludin Marwan, 2012, Studi Hukum Kritis dari Modern, Posmodern hingga Posmarxis,  Satjipto Erahardjo Institute dan Thafa Media, Semarang, hlm. 3.
[5] Muhamad Erwin.,Op.Cit, hlm. 209
[7] I. Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Malang, hlm. 189.
[8] Ibid.
[9] Ibid. hlm. 190.
[10] Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publising, Yogyakarta, hlm. 108-109.
[11] I. Bambang Sugiarto, Op.Cit.,hlm. 24
[13] Ibid.
[14] Winarno. 2007. Paradigma Baru “Pendidikan Kewarganegaraan” Panduan Kuliah Di Perguruan Tinggi. PT.Bumi Aksara;Jakarta, hlm.28.
[16] Philipus M. Hajon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, hlm. 75.
[17] Widodo, SRI, dkk, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan, UMC Press, Jakarta, hlm. 27.
[18] Ibid. hlm. 29
[19] Roberto M. Unger, Op.Cit.,hlm.160.
[20] Ibid.,hlm. 234.
[21] Nasrul, 2010, Rule Of Law dan Hak Asasi Manusia.hlm.24
[22] Arief Sidharta, 2004, Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum, Dalam Jentera (Jurnal Hukum), Rule Of Law, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), edisi 3, Tahun II, November, Jakarta, hlm. 124-125.
[23] Mochtar Kusuma Atmaja, 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, hlm. 85-86
[24] AAGN Ari Dwipayana, 2011, Evaluasi Program Legislasi Nasional, Makalah FGD Prolegnas DPD-RI, Kerja sama DPD-RI dan FH-UAJY, Yogyakarta, hlm. 1
[25] Muchsan, 1999, Perwujudan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa dalam Negara Kesejahteraan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hlm. 5

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS PUTUSAN MK NOMOR 46/PUU-VIII/2010

MPLEMENTASI ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DALAM HUKUM INDONESIA