MPLEMENTASI ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DALAM HUKUM INDONESIA
IMPLEMENTASI ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DALAM HUKUM
INDONESIA
A.
Sejarah
Perkembangan Aliran Sociological
Jurisprudence
Aliran
sociological Jurisprudence tumbuh dan
berkembang di Amerika Serikat oleh seorang pioneernya
yakni Roscoe Pound melalui karya besarnya yang berjudul “Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence” pada tahun 1912. Selain
Roscoe Pound, ada beberapa tokoh yang menjadi pendasar aliran ini yaitu Eugen
Erlich, Benjamin Cardozo, Kontorowics, Gurvits. Inti pemikiran dari aliran ini
terletak pada pemahaman bahwa hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat. Aliran hukum ini lahir dari proses dialektika
antara yang sebagai tesis (aliran hukum positivisme) dan yang sebagai antitesis
(aliran mazhab sejarah) yang kemudian menghasilkan sintesis yang berupa sociological Jurisprudence.[1]
Aliran
hukum positif memandang tidak ada hukum kecuali perintah yang diberikan oleh
penguasa (law is command of lawgiver),
sebaliknya mazhab sejarah menyatakan bahwa hukum timbul dan berkembang bersama
dengan masyarakat. Aliran hukum positif lebih mementingkan akal, sementara
mazhab sejarah lebih mementingkan pengalaman dan sociological jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya.
Sintesis sociological jurisprudence dimaksudkan
berusaha menekankan adanya sisi hukum dan sisi masyarakat secara bersamaan.
B.
Pandangan
tentang Sociological Jurisprudence
Menurut
Roscoe Pound, hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang
befungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan adalah tugas ilmu hukum
untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat
terpenuhi secara maksimal. Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum
sebagai suatu proses (law in action),
yang dibedakan dengan hukum tertulis (law
in the books). Pembedaan ini dapat diterapkan diseluruh bidang hukum, baik
hukum substantive maupun hukum ajektif.
Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai
dengan pola-pola perikelakuan.[2]
Beberapa
pemikiran Roscoe Pound diuraikan dibawah ini:[3]
Pertama,
tugas sociological jurisprudence
menentukan bahwa sumber hukum mencakup: usage
(adat istiadat); religion (agama);
moral; Philosophical ideas (ide-ide
filosofis); adjucation (ajudikasi); scientific discussion (diskusi ilmiah); legislation (legislasi). Arti penting
mengenali sumber-sumber hukum itu untuk membantu yuris dalam mencatat dan
menganalisis fakta-fakta sosial berkenaan dengan penguasaan merumuskan atau
memformulasi, menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum.
Salah
satu makna hukum menurut Pound adalah hukum dibuat sebagai jawaban atas
tuntutan hukum ekonomi dan hukum sosial yang menghargai seseorang dalam
masyarakatnya. Makna hukum ini menjadi acuan Pound dalam menyikapi bagaimana
fungsi hukum dalam pembangunan masyarakat. Pound telah dipengaruhi aliran
instrumentalisme hukum, hal ini tampak ketika ia mempertahankan pendapatnya
bahwa ilmu-ilmu sosial merupakan ilmu yang membantu perkembangan hukum. Melalui
pernyataan ini, Pound menegaskan bahwa tugas hukum (law’s task) adalah social
engineering.[4]
Ajaran
social engineering (rekayasa sosial)
dikonsepsinkan bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah atau melakukan
pembaharuan masyarakat. Hukum ditempatkan di depan perilaku manusia, yakni
mengarahkan perilaku masyarakat kea rah kemajuan. Dalam ajaran social
engineering, hukum berorientasi pada pembangunan yang digunakan oleh agent of development. Agent of development yang dapat
membentuk hukum sebagai sarana pembangunan dalam rangka “law is a tool of social engineering.[5]
Titik
berat aliran sociological jurisprudence
terletak pada kenyataan sosial yang dapat menjadi kenyataan hukum (fakta
hukum). Fakta-fakta hukum yang mendasari semua hukum adalah kebiasaan,
dominasi, pemilikan dan pernyataan kemauan. Aliran hukum ini melihat masyarakat
dari pendekatan hukumnya yang salah satu rinciannya meliputi fungsi dari hukum
terhadap masyarakat. Fungsi hukum adalah sebagai kerangka ideologis perubahan struktur
dan kultur masyarakat.[6]
Aliran
hukum ini menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat. Aliran ini berbeda dari
sosiologi hukum yang merupakan cabang sosiologi yang melakukan pendekatan
masyarakat ke hukum. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah sesuai dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi ada dua hukum yaitu hukum positif yang
kemudian menjadi hukum yang baik atau tidak baik dan hukum yang hidup dalam
masyarakat (the living law/Das lebendiges
Recht) yang bukan merupakan hukum positif. Ada perbedaan antara hukum
positif dan hukum yang hidup (the living
law) dalam masyarakat itu. Hukum positif adalah peraturan perundang-undangan
sebagai entsheidungsnormen atau
norma-norma keputusan, sementara itu, hukum yang hidup adalah kenyataan sosial
sebagai Rechtsnormen (norma hukum).[7]
C.
Implementasi
Sociological Jurisprudence Dalam
Hukum Indonesia
Seperti
yang kita ketahui bahwa Indonesia saat ini menganut positivism hukum yaitu tidak
ada hukum lain kecuali perintah penguasa atau norma hukum adalah adalah sah
apabila ditetapkan oleh lembaga atau otoritas yang berwenang dan didasarkan
pada aturan yang lebih tinggi, bukan digantungkan pada nilai moral. Norma hukum
yang ditetapkan itu tidak lain adalah undang-undang. Undang-undang adalah
sumber hukum, diluar undang-undang bukan hukum.
Peraturan
yang diberlakukan dinegeri ini seolah-olah Larut dan tenggelam dalam paradigma “Negara dunia ketiga” yang menganggap
bahwa setiap gerak kehidupan perlu untuk diubah karena disesuaikan dengan
keberadaan global kalau tidak mau dianggap kuno.
Peraturan tertulis (hukum positif) negeri ini bias jadi hanya berperan benteng
kasta dalam strata kehidupan sosial dan nyaris melenceng dari tujuan filosofis
pembentukannya.[8]
Berdasarkan
hal di atas, maka menurut hemat penulis, perlu dikembangkan aliran sociological jurisprudence di Indonesia
dimana hukum dibuat berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat atau
berdasarkan perkembangan masyarakat bukan disesuaikan dengan keberadaan global.
Sebagai salah satu contoh peraturan tertulis yang dibuat tidak berdasarkan
dengan kondisi dan perkembangan masyarakat Indonesia menurut penulis adalah
Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Definisi pornografi dalam
undang-undang tersebut dinilai terlalu luas sehingga dapat menimbulkan berbagai
penafsiran.
Dalam
pasal 1 UU nomor 44 tahun 2008 yang dimaksud dengan pornografi adalah gambar,
sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak animasi,
kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai
bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukkan di muka umum yang membuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat. Menurut penulis, seharusnya pengertian pornografi harus dipersempit
lagi, karena jika dilihat dari sebagian budaya-budaya masyarakat Indonesia ada
yang secara hukum melanggar UU tersebut baik dari segi pakaian, tarian dan
lain-lain.
Permasalahan
yang muncul disini adalah mengapa sociological
jurisprudence penting untuk dikembangkan di Indonesia yang menganut
positivisme hukum? Filosofi sociological
jurisprudence adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia ada tiga hukum yang
hidup dalam masyarakat yaitu hukum warisan Belanda, hukum adat dan hukum islam.
Dengan adanya UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi artinya pembentukan hukum
ini tidak sesuai dengan hukum adat (adat istiadat) masyarakat Indonesia
mengingat bangsa Indonesia adalah multicultural tetapi dibentuk berdasarkan
kepentingan politik dan kelompok-kelompok tertentu saja.
Merupakan
hal yang wajar jika banyak pihak yang kontra terhadap pembentukan undang-undang
ini misalnya masyarakat Bali, Papua, Maluku dan NTT. Hal ini dikarenakan pemerintah
dalam membuat undang-undang ini hanya memperhatikan unsure normatifnya saja
(ratio) tetapi tidak memperhatikan unsure empirisnya (pengalaman) sehingga secara
hukum (positivisme hukum), adat istiadat mereka dapat dipidana karena
bertentangan dengan UU pornografi ini.
Sekalipun
aliran hukum sociological jurisprudence kelihatan
sangat ideal, dengan cita hukum masyarakat yang terus menerus berubah ini,
karena mengutamakan bagaimana suatu hukum itu menjadi baik dan sesuai dengan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tetapi aliran ini bukanlah tanpa
kritik. Ada 3 kelemahan dari aliran
hukum ini yaitu[9]:
1. Aliran
hukum ini tidak dapat memberikan kriteria yang jelas yang membedakan norma
hukum dari norma sosial yang lain.
2. Ehrlic
meragukan posisi adat kebiasaan sebagai “sumber” hukum dan adat kebiasaan
sebagai suatu “bentuk” hukum.
3. Ehrlich
menolak mengikuti logika perbedaan antara norma-norma hukum Negara yang khas
dan norma-norma hukum dimana Negara hanya member sanksi pada fakta sosial.
Aliran
positivisme yang sedang berkembang di Indonesia saat ini tidak harus
dihilangkan atau kemudian diganti dengan aliran hukum lain. Tetapi dalam
merumuskan suatu aturan tertulis unsur normatif (ratio) dan empiric
(pengalaman) harus ada. Kedua-duanya sama perlunya. Artinya hukum yang pada
dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai
suatu pengalaman, kemudian dikonkritisasi menjadi norma-norma hukum melalui
tangan-tangan ahli hukum sebagai hasil kerja ratio, yang seterusnya dilegalisasi
atau diberlakukan sebagai hukum oleh Negara. Yang menjadi penting adalah bahwa
cita-cita keadilan masyarakat dengan cita-cita keadilan yang dituju oleh
penguasa harus selaras dan itu termanifestasikan dalam hukum.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa inti pemikiran aliran sociological
jurisprudence yaitu hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat (the living law),
sehingga aliran ini perlu untuk dikembangkan di Indonesia meskipun Indonesia
menganut positivisme hukum. Melihat dari masyarakat Indonesia yang
multikultural, sehingga dalam merumuskan suatu aturan hukum positif
(undang-undang) harus didasarkan pada hukum yang hidup dalam masyarakat bukan
disesuaikan dengan keberadaan global.
Dalam
merumuskan suatu aturan tertulis unsur normatif (ratio) dan empiric
(pengalaman) harus ada. Kedua-duanya sama perlunya. Artinya hukum yang pada
dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai
suatu pengalaman, kemudian dikonkritisasi menjadi norma-norma hukum melalui
tangan-tangan ahli hukum sebagai hasil kerja ratio dan diberlakukan sebagai
hukum oleh Negara. Sehingga cita-cita keadilan yang dituju baik oleh masyarakat
maupun oleh penguasa harus selaras.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Dewa
Gede Atmadja .I, 2013, Filsafat Hukum
“Dimensi Tematis dan Historis”, Malang; Setara Press.
Hyronimus
Rhiti, 2011, Filsafat Hukum Edisi Lengkap
Dari Klasik ke Postmodernisme, Yogyakarta; Penerbit Universitas Atma Jaya
Muhamad
Erwin, 2012, Filsafat Hukum “Refleksi
Kritis terhadap Hukum”, Jakarta ; PT. Raja Grafindo Persada.
Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif “Rekonstruksi Terhadap Toeri Hukum Pembangunan
dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta;
Gentha Publishing.
Website:
https://www.academia.edu/6904979/Makalah_Filsafat_Hukum_dengan_Aliran_
Sociological_Jurisprudence, diakses tanggal 6 November 2014,
pukul 14.45
http://jurnalperspektif-fhuwks.blogspot.com/2012/04/kritik-terhadap-aliran-sociological.html,
diakses tanggal 6 November, pukul 24.15
[1]
Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum
“Refleksi Kritis terhadap Hukum”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
195-196.
[2]https://www.academia.edu/6904979/Makalah_Filsafat_Hukum_dengan_Aliran_Sociological_Jurisprudence,
diakses tanggal 6 November 2014, pukul 14.45
[3]
Dewa Gede Atmadja I, 2013, Filsafat
Hukum “Dimensi Tematis dan Historis”, Setara Press, Malang, hlm.161.
[4]
Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum
Integratif “Rekonstruksi Terhadap Toeri Hukum Pembangunan dan Teori Hukum
Progresif, Gentha Publishing, Yogyakarta,hlm. 70-71.
[5]
Dewa Gede Atmadja I, Op.Cit., hlm.
163.
[6]
Muhamad Erwin.,Op.Cit. hlm 198.
[7]
Hyronimus Rhiti, 2011, Filsafat Hukum
Edisi Lengkap Dari Klasik ke Postmodernisme, Penerbit Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta, hlm. 159.
[8]
Muhamad Erwin,Op.Cit., hlm. 157
[9] http://jurnalperspektif-fhuwks.blogspot.com/2012/04/kritik-terhadap-aliran-sociological.html,
diakses tanggal 6 November, pukul 24.15
Komentar
Posting Komentar