TEORI HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hakim dalam
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, pertama kali harus menggunakan
Hukum Tertulis sebagai dasar putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup,
tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari
dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti
yurisprudensi, dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan
“bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Ketentuan pasal ini memberi makna
bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu
perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1) juga menjelaskan bahwa “Hakim dan Hakim
Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Kata “menggali” biasanya diartikan bahwa
hukumnya sudah ada, dalam aturan perundangan tapi masih samar-samar, sulit
untuk diterapkan dalam perkara konkrit, sehingga untuk menemukan hukumnya harus
berusaha mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Apabila sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut, maka Hakim harus mengikutinya
dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam putusannya agar sesuai dengan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam praktek Pengadilan, ada 3
(tiga) istilah yang sering dipergunakan oleh Hakim yaitu penemuan hukum,
pembentukan hukum atau menciptakan hukum dan penerapan hukum. Diantara tiga
istilah ini, istilah penemuan hukum paling sering di pergunakan oleh Hakim,
sedangkan istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh lembaga
pembentuk undang-undang (DPR). Dalam perkembangan lebih lanjut, penggunaan
ketiga istilah itu saling bercampur baur, tetapi ketiga istilah itu berujung
kepada pemahaman bahwa aturan hukum yang ada dalam undang-undang tidak jelas,
oleh karenanya diperlukan suatu penemuan hukum atau pembentukan hukum yang
dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu perkara.
Jazim Hamidi (2005:51) mengatakan
bahwa penemuan hukum mempunyai cakupan wilayah kerja hukum yang sangat luas,
karena penemuan hukum itu dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu perorangan,
ilmuwan, peneliti hukum, para hakim, jaksa, polisi, advokat, dosen, notaris dan
lain-lain. Akan tetapi menurut Sudikno Mertokusumo (2007:5) profesi yang paling
banyak melakukan penemuan hukum adalah para hakim, karena setiap harinya hakim
dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik yang harus diselesaikan.
Penemuan hukum oleh hakim dianggap
suatu hal yang mempunyai wibawa sebab penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum
yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena hasil penemuan hukum itu
di tuangkan dalam bentuk putusan.
Dengan demikian, penulis sangat
tertarik untuk menganalisis terkait penemuan hukum oleh hakim, karena masih banyak putusan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan yang seharusnya harus ada dalam putusan tersebut dan
masih banyak para hakim yang belum memahami tentang cara menemukan hukum untuk
diterapkan dalam peristiwa konkrit yang sedang diadilinya.
B.
Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan
makalah ini antara lain sebagai berikut :
1.
Apakah putusan hakim melalui metode
penemuan hukum telah memberikan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan?
2.
Apa teori hukum yang digunakan oleh
hakim dalam melakukan penemuan hukum (Rechtsvinding) terhadap putusan bebas dapat
dikasasi? (contoh kasus)
C.
Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan
makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui putusan hakim
melalui metode penemuan hukum telah memberikan kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan atau tidak;
2.
Untuk mengetahui teori hukum yang
digunakan oleh hakim dalam melakukan penemuan hukum (Rechtsvinding) terhadap putusan bebas dapat
dikasasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TEORI HUKUM
1. Pengertian
Teori Hukum
Pengertian Teori Hukum menurut
beberapa ahli, antara lain sebagai berikut :
1.
Prof.
DR. B. Arief Sidharta, SH;
Teori Ilmu Hukum (rechtstheorie)
secara umum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam
perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai
aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam
konsepsi teoritisnya maupun dalam pengejawantahan praktisnya, dengan tujuan
untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih
mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan
masyarakat.
Obyek telaahnya adalah gejala umum
dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum
dan kritik ideological terhadap hukum (Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum,
2000,h.122).
2.
Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, SH
Teori hukum adalah teorinya ilmu
hukum. Dengan perkataan lain, Ilmu Hukum adalah objek Teori Hukum. Sebagai
teorinya teori (Ilmu Hukum adalah teorinya praktik hukum dan hukum positif). Maka
Teori Hukum disebut sebagai meta teori Ilmu Hukum (baca juga Bruggink,
1999:172).
Teori hukum berhubungan dengan hukum
pada umumnya, bukan mengenai hukum di suatu tempat dan di suatu waktu seperti
halnya Ilmu Hukum (Prof. Dr. Sudikno Metrokusumo, S.H, “TeoriHukum” 2011,h.3.)
2. Macam-Macam
Teori Hukum
Pada
prinsipnya banyak teori hukum yang berkembang namun penulis hanya mengambil
beberapa teori hukum saja yang berpengaruh terhadap penemuan hukum oleh hakim
dalam perkara putusan bebas dapat dikasasi, yaitu sebagai berikut :
a.
Legal Realism
Pelopor
pertama Realisme Hukum pertama kali berkembang di Amerika Serikat yang
dipopulerkan oleh Karl Llewellyn, Jerome Frank, Oliver Wendel Holmes, Bingham.
Perkembangan selanjutnya juga dianut antara lain oleh Underhiil Moore, Herman
Oliphant, Charles E. Clark, Fellix Cohen, Thomas R. Powell, Arthur R. Combin,
Walter W. Cook, Max Radin, Hessel E. Yntema, Joseph Hutcheson, Samuel Klaus.
Realisme
Hukum bukanlah aliran melainkan gerakan dalam cara berpikir tentang hukum sebagaimana
yang ditegaskan oleh William James “Pragmatism
is a new name for some old ways of thinking. Its outlook is emphatically
positivist”. Karl Llewellyn (Thomas W. Bechtler: 1978) mempertegas
bahwa realisme hukum merupakan “Gerakan” dengan karakteristiknya antara lain:
1. Realisme
hukum bukanlah suatu aliran/ mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara
berpikir dan cara bekerja tentang hukum;
2. Realisme
adalah sautu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat
untuk mencapai tujuan sosial, maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai
tujuan maupun hasilnya;
3. Realisme
mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara anatara sollen dan sein untuk keperluan suatu
penyelidikan. Agar antara penyelidikan itu mempunyai tujuan maka hendaknya
diperhatikan adanya nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh
dipengaruhi oleh kehendak observer maupun
tujuan-tujuan kesusilaan;
4. Realisme
tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh karena realisme
bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dan
orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan defenisi-defenisi dalam
peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang apa yang dikerjakan
oleh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme
menciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan keadaan-keadaan hukum yang
lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada
masa lampau;
5. Gerakan
realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah diperhatikan
dengan seksama mengenai akibat-akibatnya.
b.
Critical Legal Studies
Aliran Critical Legal Studies meiliki
beberapa karakteristik umum sebagai berikut:
1.
Aliran Critical Legal
Studies ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik, dan
sama sekali tidak netral
2.
Ajaran Critical Legal
Studies ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu
3. Aliran
Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen besar terhadap kebebasan
individual dengan batasan tertentu, karena aliran ini berhubungan dengan
emansipasi kemanusiaan
4. Ajaran
Critical Legal Studies ini kurang mempercayai bentu-bentuk kebenaran yang
abstrak dan pengetahuan yang benar-benar obyektif. Karena itu ajaran Critical
Legal Studies menolak keras ajaran-ajaran dalam positivisme hukum
5. Aliran
Critical Legal Studies ini menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan
menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik
dari paham liberal.
c.
Teori Interpretasi
Teleologis/Sosiologis
Metode Interpretasi secara Teleologis atau Sosiologis yaitu
cara penafsiran suatu ketentuan undang-undang untuk mengetahui makna atau yang
didasarkan pada tujuan kemasyarakatan. Metode interpretasi undang-undang
diterapkan pada suatu undang-undang yang masih berlaku tetapi kurang berfungsi
karena tidak sesuai lagi dengan keadaan jaman.
Terhadap undang-undang yang ada
diupayakan (melalui penafsiran) untuk dapat digunakan terhadap peristiwa,
hubungan, kebutuhan dan lingkungan masa kini dengan tidak memperhatikan apakah
itu pada saat diundangkannya sudah dikenal atau tidak.Dengan lebih sederhana
pengertian metode interpretasi teleologis atau sosiologis dapat dikemukakan
yaitu merupakan upaya menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hubungan
dan situasi sosial yang baru. Keadaan undang-undang yang sebenamya sudah tidak
sesuai lagi dengan zaman dijadikan alat untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi pada saat sekarang.
d.
Freirechtslehre
Freirechtslehre (Ajaran Hukum Bebas )
merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum. Aliran Hukum Bebas
berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang
bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan
penyelesaian yang tepat untuk pristiwa konkret, sehingga pristiwa-pristiwa
berikutnya dapat dpecahkan oleh norma yang diciptakan oleh hakim.
B.
PENEMUAN
HUKUM
1. Pengertian
Penemuan Hukum
Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim
atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum
terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit (Sudikno Mertokusumodan A.
Pitlo. 1993:4).
Hal ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi
peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit atau
lebih lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi
atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan
mengingatakan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.
Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara, penemuan hukum oleh hakim ini dianggap
yang mempunyai wibawa (Sudikno Mertokusumodan A. Pitlo. 1993:5).
Penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo
sebagaimana dikutip oleh Dansur ada dua jenis:
1.
Penemuan Hukum
Heteronom adalah jika dalam penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk pada
undang-undang, hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan
pada peristiwa konkritnya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi
undang-undang tersebut;
2.
Penemuan Hukum Otonom
adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh
pandangan-pandangan, pemahaman, pengalaman dan pengamatan atau pikirannya
sendiri. Jadi hakim memutus suatu perkara yang dihadapkan padanya menurut
apresiasi pribadi, tanpa terikat mutlak kepada ketentuan undang-udang.
Sedangkan
Pitlo membedakan Penemuan hukum dalam dua jenis yaitu (Sudikno Mertokusumodan
A. Pitlo. 1993 :5):
a)
Penemuan Hukum dalam arti sempit,
penemuan yang semata-mata hanya kegiatan berpikir yang disyaratkan, karena
tidak ada pegangan yang cukup dalam undang-undang;
b)
Penemuan Hukum dalam arti luas, selain
kegiatan berpikir juga mencakup interpretasi.
Menurut
Paul Scholten, penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain daripada
hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya kadang-kadang dan bahkan
sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan
interpretasi maupun dengan jalanan alogi ataupun rechtssvervijning
(pengkonkretan hukum).
John
Z Lauder, mengemukakan bahwa penemuan hukum adalah penerapan ketentuan fakta
dan ketentuan tersebut kadang kala harus dibentuk karena tidak selalu terdapat
dalam undang-undang yang ada.
2. Metode Penemuan Hukum
Metode yang digunakan dalam Penemuan Hukum yaitu antara lain, sebagai berikut :
a.
Interprestasi Gramatical
Penafsiran
gramatikal atau taalkundig adalah
penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata. Kata-kata atau bahasa merupakan
alat bagi pembuat undang-undang untuk menyatakan maksud dan kehendaknya.
Kata-kata itu harus singkat, jelas dan tepat. Untuk mempergunakan kata-kata
tidak mudah. Oleh karenanya hakim apbila hakim ingin mengetahui apa yang
dimaksud Undang-undang atau apa yang dikehendaki oleh pembuat Undang-undang,
hakim harus menafsirkan kata-kata dalam Undang-undang tersebut.
Ia
harus mencari arti kata-kata itu dalam kamus atau penjelasan-penjelasan dari
ahli bahasa. Inipun sering tidak cukup dan hakim harus mencari jalan lain.
Misalnya, mencari sejarah penggunaan kata-kata tersebut sewaktu Undang-undang
itu dibuat. Disamping arti kata-kata itu sendiri dalam penafsiran kata-kata itu
harus dihubungkan pula dengan susunan kalimat dan dengan peraturan lain.
b. Interprestasi Sosiologis/
teleologis
Adalah
penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Pentingnya penafsiran
sosiologis adalah sewaktu Undang-undang itu dibuat keadaan sosial masyarakat
sudah lain daripada sewaktu Undang-undang diterapkan, karena hukum itu gejala
sosial yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan masyarakat.
Penafsiran
sosiologis memang penting sekali bagi hakim terutama kalau diingat banyak
Undang-undang yang dibuat jauh daripada waktu dipergunakan. Khususnya Indonesia
banyak memakai Undang-undang zaman penjajahan, sehingga tidak cocok dengan
keadaan sosial masyarakat pada waktu sekarang.
Kita
ambil sebagai contoh pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.
Sebelum putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dapat dihukum akibat perbuatan
melawan hukum yaitu apabila perbuatan itu melanggar Undang-undang, Namun
berdasarkan perkembangan masyarakat, setelah putusan Hoge Raad 31 Januari 1919,
yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar UU,
kesusilaan, kepatutan dan ketertiban moral.
c. Penafsiran Sistematis
Penafsiran
sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal
yang lain dalam suatu Perundang-undangan yang bersangkutan atau pada
Perundang-undangan hukum lainnya atau membaca penjelasan suatu
Perundang-undangan, sehingga mengerti maksudnya. Kita harus membaca UU dalam
keseluruhannya, tidak boleh mengeluarkan suatu ketentuan lepas dari keseluruhannya,
tetapi kita harus meninjaunya dalam hubungannya dengan ketentuan sejenis.
Antara banyak peraturan terdapat hubungan, yang satu timbul dari yang lain.
Seluruhnya merupakan satu sistem besar.
Misalnya,
Pasal 1330 KUHPerdata mengemukakan tidak cakap untuk membuat perjanjian antara
lain orang-orang yang belum dewasa. Apakah yang dimaksud orang yang belum
dewasa ?. Dalam hal ini kita melakukan penafsiran sistematis dengan melihat
Pasal 330 KUHPerdata yang memberikan batas belum berumur 21 tahun.
d.
Penafsiran Historis
Penafsiran
cara ini adalah meneliti sejarah dari Undang-undang yang bersangkutan. Tiap
ketentuan Perundang-undangan tentu mempunyai sejarah dan dari sejarah
perundang-undangan ini hakim mengetahui maksud dari pembuatnya.
Ada
dua macam penafsiran historis, yaitu penafsiran menurut sejarah Undang-undang
dan penafsiran menurut sejarah hukum. Dengan penafsiran menurut sejarah
Undang-undang hendak dicari maksud seperti yang dilihat oleh pembentuk
Undang-undang pada waktu pembentukannya. Pikiran yang mendasari metode ini
ialah bahwa Undang-undang adalah kehendak pembentuk Undang-undang yang
tercantum dalam teks Undang-undang.
Metode
interprestasi yang hendak memahami Undang-undang dalam konteks seluruh sejarah
hukum disebut interprestasi menurut sejarah hukum. Interprestasi ini
menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yang dahulu
pernah berlaku atau dari sIstem hukum lain yang sekarang masih berlaku di
negara lain, misalnya KUHPerdata yang berasal dari B.W negeri Belanda. B.W
berasal dari Code Civil Perancis atau Code Napoleon.
e.
Interprestasi Perbandingan
Penafsiran
perbandingan ialah penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dengan
hukum positif, antara hukum nasional dengan hukum internasional dengan hukum
asing.
a. Hukum
lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini mungkin hukum lama cocok untuk
diterapkan lagi pada masa sekarang ini. Misalnya, beberapa asas hukum adat yang
menggambarkan unsur kekeluargaan dapat diambil untuk dijadikan hukum nasional.
b. Hukum
nasional dengan hukum asing. Hukum nasional tentu ada kekurangan. Apabila ada
keinginan untuk mengambil alih hukum asing apakah hukum itu cocok dan sesuai
dengan kepentingan nasional, misalnya: Hak kekayaan Intelektual.
f.
Interprestasi Futuristis
Interprestasi
futuristis adalah metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi, yaitu
penjelasan ketentuan Undang-undang dengan berpedoman pada Undang-undang yang
belum mempunyai kekuatan hukum.
Interprestasi
adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas
untuk diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus
memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Disini
hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan Undang-undang yang harus diisi
atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili
perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya.
Untuk mengisi kekosongan itu digunakan metode argumentasi.
Metode
Argumentasi ada 3, yaitu:
1.
Argumentum Per analogiam
Analogi
memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi kias pada
kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang
sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan
hukum tersebut, misalnya, menyambung aliran listrik dianggap sama dengan
mengambil aliran listrik. Analogi boleh digunakan apabila menghadapi
peristiwa-peristiwa yang mirip.
Tidak
hanya sekedar kalau peristiwa yang akan diputus itu mirip dengan peristiwa yang
diatur UU, tetapi juga apabila kepentingan masyarakat hukum menuntut penilaian
yang sama.Analogi ini dapat disebut juga interprestasi ekstensif,
karena memperluas pengertian.
2. Penyempitan
Hukum
Kadang-kadang
peraturan hukum lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk
dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu (Rechtsvervijning).
Dalam
menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian atau penyimpangan baru dari
peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum
yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri. Contoh:
Pasal 1365 KUHPerdata , isinya pihak yang salah wajib mengganti kerugian kepada
yang menderita kerugian. Ada peristiwa tabrakan antara A dan B yang sama-sama
berkecepatan tinggi dan sama-sama rusak. Apabila A menuntut ganti rugi terhadap
B, maka B juga menuntut ganti rugi terhadap A. Dengan demikian kedua-duanya
salah, sama-sama saling memberi ganti rugi sehingga terjadi suatu kompensasi.
3.
Argumentum a contrario
Penafsiran
a contrario adalah penafsiran Undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian soal
yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan pengingkaran
ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal
yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan.
Penafsiran
a contrario bertolak belakang dengan penafsiran analogis , dimana penafsiran
analogis membawa hasil positif sedangkan a contrario hasilnya negatif. Contoh:
Pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan kawin
lagi lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian. Apakah seorang juga harus
menunggu selama 300 hari?. Berdasarkan penafsiran a contrario, jawabnya tidak.
Alasannya, peraturan Pasal 34 KUHPerdata hanya berlaku khusus bagi seorang
perempuan dan terhadap laki-laki ketentuan seperti ini tidak berlaku.
C. ANALISIS TERHADAP TEORI
HUKUM YANG DIGUNAKAN HAKIM DALAM PUTUSAN BEBAS YANG DAPAT DIAJUKAN KASASI
KASUS RADEN SONSON NATALEGAWA :
Mahkamah Agung memberikan putusannya
melalui putusan Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 atas nama
terdakwa Raden Sonson Natalegawa. Amar Putusannya berbunyi sebagai berikut:
- Menerima permohonan kasasi dari pemohon
kasasi: JAKSA PADA KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA PUSAT dan RADEN SONSON NATALEGAWA
tersebut.
- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi di
Jakarta tanggal 7 Oktober 1982 No. 45/1982/PT. Pidana dan putusan Pengadilan
Negeri di Jakarta Pusat tanggal 10 Pebruari 1982 N0. 33/1981/Pidana Biasa.
MENGADILI LAGI, yang pada intinya berbunyi sebagai berikut:
·
Menyatakan bahwa terdakwa RADEN
SONSON NATALEGAWA telah terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah telah
melakukan tindak pidana: “KORUPSI”.
·
Menghukum terdakwa tersebut oleh
karena itu dengan hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan.
·
Menetapkan bahwa dalam menjalankan
hukuman tersebut lamanya terdakwa dalam tahanan sementara sebelum putusan ini
menjadi tetap, akan dikurangkan segenapnya dari hukuman tersebut.
·
Memerintahkan terdakwa untuk
ditahan.
·
Memerintahkan agar barang bukti
berupa rumah-rumah dikembalikan kepada Bank Bumi Daya, Jakarta; perabot rumah
tangga dikembalikan kepada pemiliknya. Menghukum pemohon kasasi/termohon
kasasi/terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat
peradilan yang dalam tingkat ini ditetapkan sebesar Rp. 2500,- (dua ribu lima
ratus rupiah).
Dalam kasus
Raden Sonson Natalegawa sebagaimana dipaparkan di atas tampak bahwa Jaksa
Penuntut Umum sebagai wakil negara dalam penegakan hukum yang sekaligus sebagai
aparat penegak hukum (selaku sub unsur struktur dalam Sistem Peradilan Pidana)
yang mengemban fungsi pokok penuntutan dan memperjuangkan hak pencari keadilan
(justitiabelen) atau dengan kata lain sebagai pemegang hak pula untuk
memperjuangkan keadilan dari pihak korban ataupun masyarakat pencari keadilan,
benar-benar telah melaksanakan tugas dan fungsinya dalam hal ini melakukan
koreksi atau fungsi kontrol terhadap kinerja institusi sub unsur struktur
lainnya dalam Sistem Peradilan Pidana, yakni pengadilan (hakim) dalam memutus
suatu perkara.
Dalam kasus Raden Sonson Natalegawa
ini, Jaksa Penuntut Umum telah menjalankan salah satu misinya, yaitu melakukan
koreksi terhadap putusan pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membebaskan
terdakwa yakni dengan mengajukan permohonan upaya hukum banding kepada
Pengadilan Tinggi Jakarta dan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Langkah
yang ditempuh oleh Jaksa Penuntut Umum dalam upaya memperjuangkan keadilan
lewat upaya hukum tersebut ternyata tidak sia-sia, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum atas putusan bebas tersebut walaupun
sebelumnya harus melalui berbagai problema yuridis seperti adanya kesalahan
dari Pengadilan Tinggi Jakarta yang telah salah menerapkan hukum (salah menerapkan
Pasal 67 KUHAP), bahwa Pengadilan Tinggi Jakarta tidak seharusnya menerima
permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum atas putusan bebas (vrijspraak)
oleh karena Pasal 67 KUHAP secara tegas tidak memperkenankan dilakukannya upaya
hukum banding terhadap putusan bebas tersebut dan juga adanya kekeliruan dari
Jaksa Penuntut Umum yang tidak semestinya mengajukan upaya hukum banding kepada
pengadilan Tinggi atas putusan bebas tersebut.
Dalam kasus
ini Mahkamah Agung telah melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan bawahan,
yakni Mahkamah Agung telah memperbaiki mengenai kesalahan penerapan hukum yang
dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah keliru di dalam
menafsirkan istilah “melawan hukum”.
Di samping
itu Mahkamah Agung juga telah melakukan koreksi terhadap
putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang salah menerapkan ketentuan Pasal 67 dan
Pasal 233 ayat (2) KUHAP. Dalam hal ini Mahkamah Agung sekaligus pula telah
melakukan koreksi yakni memperbaiki kesalahan atau kekeliruan dalam cara mengadili
yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta sehingga Mahkamah Agung
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi tersebut oleh karena telah menerima
permohonan banding atas putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Diterimanya
permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas
atas perkara RadenSonson Natalegawa tersebut menunjukkan bahwa Jaksa Penuntut
Umum telah berhasil meluruskan jalannya proses hukum, yakni melakukan koreksi
terhadap kinerja Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Mahkamah Agung.
Langkah koreksi ini merupakan suatu upaya pengawasan atau kontrol antara sub
sistem struktur peradilan pidana dalam penyelenggaraan proses peradilan pidana
dan sebagaimana kita sadari bahwa proses hukum yang diemban dan
dioperasionalisasikan oleh insan manusia tentunya tidak luput dari kekeliruan
dan keterbatasan.
Dengan dikabulkannya permohonan kasasi Jaksa
Penuntut Umum oleh Mahkamah Agung terhadap putusan bebas tersebut berarti Jaksa
Penuntut Umum telah berhasil mengembalikan porsi keadilan distributif, yakni
adanya pendistribusian hak secara proporsional bagi semua pihak pencari
keadilan sehingga dalam kasus ini dapat dirasakan terwujudnya asas
persamaan di muka hukum, baik terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil
negara, wakil insan pencari keadilan tampak mendapat kesempatan atau porsi yang
sama dalam memperjuangkan haknya untuk memperoleh keadilan.
ANALISIS
TEORI HUKUM YANG DIGUNAKAN
Untuk mengetahui dan menganalisis
mengenai kebijakan aplikasi kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan
bebas (vrijspraak) dapat pula dikaji dengan mempergunakan Teori Realisme Hukum.
Aliran Realisme Hukum diakui sebagai salah satu teori yang berperan besar dalam
pembentukan hukum melalui putusan pengadilan (di Indonesia dikenal dengan
sebutan yurisprudensi). Aliran Realisme Hukum sangat intens mengamati proses
sampai putusan pengadilan, yang akhirnya mengeluarkan berbagai rekomendasi
untuk memperbaiki putusan pengadilan dan proses untuk pencapaian tersebut,
antara lain, sebagai berikut:
1. Adalah lebih baik dan lebih efektif jika
kategori hukum semakin dipersempit, baik yang berkenaan dengan hukum substantif
maupun hukum acara;
2. Penekanan
terhadap pentingnya kedudukan personel pengadilan dan organisasi pengadilan
dalam rangka mencapai putusan yang baik, disamping perlunya hakim-hakim
spesialisasi;
3. Lebih menekankan kepada pendekatan terhadap
masalah-masalah hukum sebagai suatu alokasi resiko, utamanya terhadap kasus-kasus yang berkenaan dengan tidak terwakilinya para pihak dengan
baik di pengadilan;
4. Rekomendasi tentang perlunya hakim menelaah
secara komprehensif terhadap masalah kebijaksanaan (policy) dalam kasus yang
ditanganinya dan menggunakan putusan terdahulu yang bebas dari campur tangan
dan pengaruh apapun sebagai acuan dalam memutus perkara tersebut;
Esensi Teori Realisme adalah untuk
menemukan kebenaran akan penerapan hukum (dalam praktek) yang diperankan oleh
pengadilan sehingga betul-betul tercipta kebenaran materiil lewat lahirnya sebuah
putusan hakim (vonis) yang dapat memuaskan para pencari keadilan atau
tercapainya kepastian, kemanfaatan dan keadilan sesuai dengan tujuan hukum itu
sendiri.
Implikasi dari esensi Teori Realisme merambah
perkembangan dunia praktisi hukum Indonesia. Dari fakta yang berkembang di
Indonesia dalam pembentukan hukum melalui yurisprudensi (putusan hakim)
menunjukkan bahwa Teori Realisme Hukum telah memberikan peran besar dalam
pembangunan dan pembentukan hukum di Indonesia. Hal tersebut diperoleh melalui
prilaku-prilaku (penemuan dan konstruksi hukum) Hakim dengan menempuh proses
panjang dalam mekanisme peradilan hingga lahirnya sebuah vonis yang dikemudian
hari dapat diikuti oleh Hakim-hakim berikutnya. Di negara kita, yurisprudensi
tersebut telah mendapat posisi terhormat, yakni sebagai salah satu sumber
hukum, dijadikan dasar serta acuan pula oleh hakim-hakim berikutnya dalam
menangani kasus yang sejenis.
Demikian pula mengenai upaya hukum
kasasi terhadap putusan bebas, secara Hukum (Acara), telah tertutup jalan bagi
Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung
terhadap putusan bebas tersebut oleh karena secara yuridis normatif dibatasi
oleh ketentuan Pasal 244 KUHAP. Akhirnya terjadi perkembangan dalam praktek,
yakni terbukanya celah bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum
kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas tersebut, yaitu sejak
dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14- PW. 07. 03 Tahun
1983 tanggal 10 Desember 1983. Dalam butir 19 lampiran keputusan tersebut,
dinyatakan bahwa:
“Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan
banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan
didasarkan pada yurisprudensi.”
ANALISIS
TERHADAP IUS CONSTITUENDUM
Dengan adanya yurisprudensi
tersebut, dalam praktek peradilan pidana kita hampir semua perkara dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung, tidak terkecuali terhadap putusan
bebas (vrijspraak). Kebijakan aplikasi kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap
putusan bebas (vrijspraak) yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia Nomor: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983
(tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, khususnya butir 19), dalam praktek
peradilan pidana kita ternyata Departemen Kehakiman RI, masih
menimbulkan kesenjangan norma berupa terjadinya kekaburan norma (unclear norm/vague van normen) dan
terjadinya konflik norma (conflict of
norm/geschijld van normen) sehingga dalam KUHAP yang akan datang perlu
dilakukan reformulasi terhadap upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum atas
putusan bebas (vrijspraak) tersebut yakni Jaksa Penuntut Umum semestinya
diberikan porsi atau hak untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan
bebas sehingga ada kepastian landasan justifikasi terhadap putusan bebas yang
dimohonkan upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut.
Reformulasi upaya hukum kasasi oleh
Jaksa penuntut Umum terhadap putusan bebas (vrijspraak) dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan datang, hendaknya
direkonstruksikan melalui Teori Hukum Pancasila. Munir Fuady mengatakan, bahwa
Teori Hukum Pancasila memiliki versi substantif yang khas, yakni:
a. Sesuai kaidah agama (Sila Ketuhanan);
b. Mengandung unsur prikemanusiaan adil dan beradab;
c. Mengandung unsur persatuan Indonesia;
d. Sesuai kedaulatan rakyat;
e. Mengandung unsur keadilan sosial.
Selanjutnya B. Arief Sidharta
menyatakan bahwa, “Cita hukum bangsa Indonesia adalah ada pada “Pancasila”, dan Pancasila berada dalam sistem hukum
.”Dengan demikian secara bertautan dan tidak terpisahkan antara Pancasila dan
ide-ide keadilan menyatu dalam sumber hukum tertinggi, yakni Pancasila dengan
menyebut sebagai “Keadilan Sosial”, yang secara inheren dapat pula disebut
dengan istilah: “Keadilan Pancasila.”
Salah satu aplikasi dari keadilan
Pancasila atau keadilan sosial tersebut hendaknya secara konkrit dapat tercipta
melalui putusan pengadilan, yakni putusan pengadilan yang mengandung nuansa
keadilan yang telah dapat diterima oleh pencari keadilan. Putusan bernuansa
keadilan memang tidak mudah untuk didapat. Hal ini memerlukan mekanisme yang
panjang lewat bekerjanya komponen sistem peradilan pidana baik menyangkut
substansi, struktur dan budaya hukumnya.
Dalam penegakan hukum untuk
terwujudnya tujuan hukum secara komprehensif, yakni: kepastian, kemanfaatan dan
keadilan terutama keadilan yang hakiki, tidak hanya menggunakan sarana penal
(hukum pidana) saja akan tetapi diperlukan juga sarana-sarana non penal, diantaranya memupuk rasa kesadaran hukum bagi semua warga
masyarakat agar jangan melanggar hukum. Di luar sarana penal, sebagai langkah
teoritis untuk penegakan hukum, menurut pakar sosiologis, Soerjono Soekanto,
ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh dalam penegakan hukum, yakni:
1. Faktor hukumnya sendiri;
2. Faktor
penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana
hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya,
cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Terkait
dengan faktor-faktor di atas, sebagai kunci keberhasilan penegakan hukum (law
enforcement) yang dalam hal ini sasarannya adalah untuk mendapatkan putusan
pengadilan yang bernuansa keadilan maka kelima faktor tersebut di atas, yakni
berupa faktor hukumnya, penegak hukum, sarana atau fasilitas yang mendukung
serta faktor masyarakat dan kebudayaan adalah merupakan faktor yang esensial sebagai
penentu keberhasilan penegakan hukum yang adil (due process of law) sehingga tercipta suatu keadilan hukum yakni
keadilan Pancasila yang dikenal dengan “Keadilan Sosial.”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1.
Teori Realisme Hukum diakui sebagai
salah satu teori yang berperan besar dalam pembentukan hukum melalui putusan
pengadilan yang dikenal dengan yurisprudensi;
2.
Kasus Raden Sonson
Natalegawa merupakan kasus pertama kalinya Hakim mengabulkan upaya hukum kasasi
yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum atas putusan bebas. Inilah yang menjadi
titik mula munculnya yurisprudensi tersebut.
3.
Penerebosan ketentuan
norma hukum tersebut didasarkan pada keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang
Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Dengan demikian, bisa dikatakan terjadi
konflik norma oleh karena peraturan perundang-undangan yang berada dalam
tataran peraturan yang rendah telah mengesampingkan tataran peraturan yang
lebih tinggi (Pasal 244 KUHAP) sehingga timbul kekaburan norma atau adanya
norma yang tidak jelas mengenai kasasi;
4.
Untuk itu, demi
terwujudnya kepastian hukum dalam tatanan hukum Indonesia maka Mahkamah
Konstitusi telah merevisi Pasal 244 KUHAP menjadi “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh Pengadilan lain selain Mahkamah Agung Terdakwa atau Penuntut Umum dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan Kasasi kepada Mahkamah Agung”. Dengan
demikian, tidak lagi timbul kekaburan
norma atau adanya norma yang tidak jelas mengenai kasasi.
B. Saran
Adapun saran yang hendak penulis
sampaikan dalam makalah ini bahwa penemuan hukum perlu untuk dilakukan oleh
Hakim dalam menangani suatu permasalahan hukum demi mengisi kekosongan hukum
yang ada sehingga putusan hakim dapat mewujudkan asas kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,Achmad.2009.Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Perfadilan (Judicial Pridence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legispfrudence). Jakarta : Kencana Prenadamedia Group.
Mertokusumo,Sudikno.2012.Teori Hukum. Yogyakarta : Cahaya Atma
Pustaka.
http://www.google.com:
Nasional.News.Viva.co.id/News/Read/400962-MK-Perkuat-Dasar-Hukum-Jaksa-Kasasi-Vonis-Bebas
Komentar
Posting Komentar