TEORI HUKUM



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, pertama kali harus menggunakan Hukum Tertulis sebagai dasar putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan “bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1) juga menjelaskan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Kata “menggali” biasanya diartikan bahwa hukumnya sudah ada, dalam aturan perundangan tapi masih samar-samar, sulit untuk diterapkan dalam perkara konkrit, sehingga untuk menemukan hukumnya harus berusaha mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut, maka Hakim harus mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam praktek Pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering dipergunakan oleh Hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum atau menciptakan hukum dan penerapan hukum. Diantara tiga istilah ini, istilah penemuan hukum paling sering di pergunakan oleh Hakim, sedangkan istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh lembaga pembentuk undang-undang (DPR). Dalam perkembangan lebih lanjut, penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur, tetapi ketiga istilah itu berujung kepada pemahaman bahwa aturan hukum yang ada dalam undang-undang tidak jelas, oleh karenanya diperlukan suatu penemuan hukum atau pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu perkara.
Jazim Hamidi (2005:51) mengatakan bahwa penemuan hukum mempunyai cakupan wilayah kerja hukum yang sangat luas, karena penemuan hukum itu dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu perorangan, ilmuwan, peneliti hukum, para hakim, jaksa, polisi, advokat, dosen, notaris dan lain-lain. Akan tetapi menurut Sudikno Mertokusumo (2007:5) profesi yang paling banyak melakukan penemuan hukum adalah para hakim, karena setiap harinya hakim dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik yang harus diselesaikan.
Penemuan hukum oleh hakim dianggap suatu hal yang mempunyai wibawa sebab penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena hasil penemuan hukum itu di tuangkan dalam bentuk putusan.
Dengan demikian, penulis sangat tertarik untuk menganalisis terkait penemuan hukum oleh hakim, karena masih banyak putusan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang seharusnya harus ada dalam putusan tersebut dan masih banyak para hakim yang belum memahami tentang cara menemukan hukum untuk diterapkan dalam peristiwa konkrit yang sedang diadilinya.







B.       Permasalahan

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut :
1.        Apakah putusan hakim melalui metode penemuan hukum telah memberikan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan?
2.        Apa teori hukum yang digunakan oleh hakim dalam melakukan penemuan hukum (Rechtsvinding) terhadap putusan bebas  dapat dikasasi? (contoh kasus)

C.       Tujuan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.        Untuk mengetahui putusan hakim melalui metode penemuan hukum telah memberikan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan atau tidak;
2.        Untuk mengetahui teori hukum yang digunakan oleh hakim dalam melakukan penemuan hukum (Rechtsvinding) terhadap putusan bebas  dapat dikasasi.













BAB II
PEMBAHASAN

A.   TEORI HUKUM

1.      Pengertian Teori Hukum

Pengertian Teori Hukum menurut beberapa ahli, antara lain sebagai berikut :

1.         Prof. DR. B. Arief Sidharta, SH;

Teori Ilmu Hukum (rechtstheorie) secara umum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam pengejawantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat.
Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideological terhadap hukum (Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, 2000,h.122).

2.      Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH

Teori hukum adalah teorinya ilmu hukum. Dengan perkataan lain, Ilmu Hukum adalah objek Teori Hukum. Sebagai teorinya teori (Ilmu Hukum adalah teorinya praktik hukum dan hukum positif). Maka Teori Hukum disebut sebagai meta teori Ilmu Hukum (baca juga Bruggink, 1999:172).
Teori hukum berhubungan dengan hukum pada umumnya, bukan mengenai hukum di suatu tempat dan di suatu waktu seperti halnya Ilmu Hukum (Prof. Dr. Sudikno Metrokusumo, S.H, “TeoriHukum” 2011,h.3.)

2.      Macam-Macam Teori Hukum

Pada prinsipnya banyak teori hukum yang berkembang namun penulis hanya mengambil beberapa teori hukum saja yang berpengaruh terhadap penemuan hukum oleh hakim dalam perkara putusan bebas dapat dikasasi, yaitu sebagai berikut :
a.         Legal Realism
Pelopor pertama Realisme Hukum pertama kali berkembang di Amerika Serikat yang dipopulerkan oleh Karl Llewellyn, Jerome Frank, Oliver Wendel Holmes, Bingham. Perkembangan selanjutnya juga dianut antara lain oleh Underhiil Moore, Herman Oliphant, Charles E. Clark, Fellix Cohen, Thomas R. Powell, Arthur R. Combin, Walter W. Cook, Max Radin, Hessel E. Yntema, Joseph Hutcheson, Samuel Klaus.
Realisme Hukum bukanlah aliran melainkan gerakan dalam cara berpikir tentang hukum sebagaimana yang ditegaskan oleh William James “Pragmatism is a new name for some old ways of thinking. Its outlook is emphatically positivist”. Karl Llewellyn (Thomas W. Bechtler: 1978) mempertegas bahwa realisme hukum merupakan “Gerakan” dengan karakteristiknya antara lain:
1.      Realisme hukum bukanlah suatu aliran/ mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum;
2.      Realisme adalah sautu konsepsi  mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial, maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya;
3.      Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara anatara sollen dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan. Agar antara penyelidikan itu mempunyai tujuan maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan;
4.      Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh karena realisme bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan defenisi-defenisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang apa yang dikerjakan oleh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau;
5.      Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibat-akibatnya.

b.             Critical Legal Studies
Aliran Critical Legal Studies meiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut:
1.        Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik, dan sama sekali tidak netral
2.        Ajaran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu
3.      Aliran Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen besar terhadap kebebasan individual dengan batasan tertentu, karena aliran ini berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan
4.      Ajaran Critical Legal Studies ini kurang mempercayai bentu-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar obyektif. Karena itu ajaran Critical Legal Studies menolak keras ajaran-ajaran dalam positivisme hukum
5.      Aliran Critical Legal Studies ini menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik dari paham liberal.

c.              Teori Interpretasi Teleologis/Sosiologis
                                                                                                                 Metode Interpretasi secara Teleologis atau Sosiologis yaitu cara penafsiran suatu ketentuan undang-undang untuk mengetahui makna atau yang didasarkan pada tujuan kemasyarakatan. Metode interpretasi undang-undang diterapkan pada suatu undang-undang yang masih berlaku tetapi kurang berfungsi karena tidak sesuai lagi dengan keadaan jaman.
              Terhadap undang-undang yang ada diupayakan (melalui penafsiran) untuk dapat digunakan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan lingkungan masa kini dengan tidak memperhatikan apakah itu pada saat diundangkannya sudah dikenal atau tidak.Dengan lebih sederhana pengertian metode interpretasi teleologis atau sosiologis dapat dikemukakan yaitu merupakan upaya menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Keadaan undang-undang yang sebenamya sudah tidak sesuai lagi dengan zaman dijadikan alat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi pada saat sekarang.


d.             Freirechtslehre

Freirechtslehre (Ajaran Hukum Bebas ) merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum. Aliran Hukum Bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk pristiwa konkret, sehingga pristiwa-pristiwa berikutnya dapat dpecahkan oleh norma yang diciptakan oleh hakim.


B.       PENEMUAN HUKUM

1.      Pengertian Penemuan Hukum

Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit (Sudikno Mertokusumodan A. Pitlo. 1993:4).
Hal ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit atau lebih lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingatakan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.
Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa (Sudikno Mertokusumodan A. Pitlo. 1993:5).
Penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Dansur ada dua jenis:
1.      Penemuan Hukum Heteronom adalah jika dalam penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang, hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwa konkritnya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang tersebut;
2.      Penemuan Hukum Otonom adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan, pemahaman, pengalaman dan pengamatan atau pikirannya sendiri. Jadi hakim memutus suatu perkara yang dihadapkan padanya menurut apresiasi pribadi, tanpa terikat mutlak kepada ketentuan undang-udang.
Sedangkan Pitlo membedakan Penemuan hukum dalam dua jenis yaitu (Sudikno Mertokusumodan A. Pitlo. 1993 :5):
a)    Penemuan Hukum dalam arti sempit, penemuan yang semata-mata hanya kegiatan berpikir yang disyaratkan, karena tidak ada pegangan yang cukup dalam undang-undang;
b)    Penemuan Hukum dalam arti luas, selain kegiatan berpikir juga mencakup interpretasi.
Menurut Paul Scholten, penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalanan alogi ataupun rechtssvervijning (pengkonkretan hukum).
John Z Lauder, mengemukakan bahwa penemuan hukum adalah penerapan ketentuan fakta dan ketentuan tersebut kadang kala harus dibentuk karena tidak selalu terdapat dalam undang-undang yang ada.

2.   Metode Penemuan Hukum

Metode yang digunakan dalam Penemuan Hukum yaitu antara lain, sebagai berikut :
a.         Interprestasi Gramatical
Penafsiran gramatikal atau taalkundig adalah penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata. Kata-kata atau bahasa merupakan alat bagi pembuat undang-undang untuk menyatakan maksud dan kehendaknya. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan tepat. Untuk mempergunakan kata-kata tidak mudah. Oleh karenanya hakim apbila hakim ingin mengetahui apa yang dimaksud Undang-undang atau apa yang dikehendaki oleh pembuat Undang-undang, hakim harus menafsirkan kata-kata dalam Undang-undang tersebut.
Ia harus mencari arti kata-kata itu dalam kamus atau penjelasan-penjelasan dari ahli bahasa. Inipun sering tidak cukup dan hakim harus mencari jalan lain. Misalnya, mencari sejarah penggunaan kata-kata tersebut sewaktu Undang-undang itu dibuat. Disamping arti kata-kata itu sendiri dalam penafsiran kata-kata itu harus dihubungkan pula dengan susunan kalimat dan dengan peraturan lain.

b.      Interprestasi Sosiologis/ teleologis
Adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Pentingnya penafsiran sosiologis adalah sewaktu Undang-undang itu dibuat keadaan sosial masyarakat sudah lain daripada sewaktu Undang-undang diterapkan, karena hukum itu gejala sosial yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan masyarakat.
Penafsiran sosiologis memang penting sekali bagi hakim terutama kalau diingat banyak Undang-undang yang dibuat jauh daripada waktu dipergunakan. Khususnya Indonesia banyak memakai Undang-undang zaman penjajahan, sehingga tidak cocok dengan keadaan sosial masyarakat pada waktu sekarang.
Kita ambil sebagai contoh pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum. Sebelum putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dapat dihukum akibat perbuatan melawan hukum yaitu apabila perbuatan itu melanggar Undang-undang, Namun berdasarkan perkembangan masyarakat, setelah putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar UU, kesusilaan, kepatutan dan ketertiban moral.

c.       Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu Perundang-undangan yang bersangkutan atau pada Perundang-undangan hukum lainnya atau membaca penjelasan suatu Perundang-undangan, sehingga mengerti maksudnya. Kita harus membaca UU dalam keseluruhannya, tidak boleh mengeluarkan suatu ketentuan lepas dari keseluruhannya, tetapi kita harus meninjaunya dalam hubungannya dengan ketentuan sejenis. Antara banyak peraturan terdapat hubungan, yang satu timbul dari yang lain. Seluruhnya merupakan satu sistem besar.
Misalnya, Pasal 1330 KUHPerdata mengemukakan tidak cakap untuk membuat perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa. Apakah yang dimaksud orang yang belum dewasa ?. Dalam hal ini kita melakukan penafsiran sistematis dengan melihat Pasal 330 KUHPerdata yang memberikan batas belum berumur 21 tahun.

d.      Penafsiran Historis
Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah dari Undang-undang yang bersangkutan. Tiap ketentuan Perundang-undangan tentu mempunyai sejarah dan dari sejarah perundang-undangan ini hakim mengetahui maksud dari pembuatnya.
Ada dua macam penafsiran historis, yaitu penafsiran menurut sejarah Undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Dengan penafsiran menurut sejarah Undang-undang hendak dicari maksud  seperti yang dilihat oleh pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya. Pikiran yang mendasari metode ini ialah bahwa Undang-undang adalah kehendak pembentuk Undang-undang yang tercantum dalam teks Undang-undang.
Metode interprestasi yang hendak memahami Undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut interprestasi menurut sejarah hukum. Interprestasi ini menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yang dahulu pernah berlaku atau dari sIstem hukum lain yang sekarang masih berlaku di negara lain, misalnya KUHPerdata yang berasal dari B.W negeri Belanda. B.W berasal dari Code Civil Perancis atau Code Napoleon.

e.       Interprestasi Perbandingan
Penafsiran perbandingan ialah penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dengan hukum positif, antara hukum nasional dengan hukum internasional dengan hukum asing.
a.  Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini mungkin hukum lama cocok untuk diterapkan lagi pada masa sekarang ini. Misalnya, beberapa asas hukum adat yang menggambarkan unsur kekeluargaan dapat diambil untuk dijadikan hukum nasional.
b.  Hukum nasional dengan hukum asing. Hukum nasional tentu ada kekurangan. Apabila ada keinginan untuk mengambil alih hukum asing apakah hukum itu cocok dan sesuai dengan kepentingan nasional, misalnya: Hak kekayaan Intelektual.

f.       Interprestasi Futuristis
Interprestasi futuristis adalah metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi, yaitu penjelasan ketentuan Undang-undang dengan berpedoman pada Undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.
Interprestasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Disini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan Undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara  dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. Untuk mengisi kekosongan itu digunakan metode argumentasi.
Metode Argumentasi ada 3, yaitu:
1.     Argumentum Per analogiam
Analogi memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan hukum tersebut, misalnya, menyambung aliran listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listrik. Analogi boleh digunakan apabila menghadapi peristiwa-peristiwa yang mirip.
Tidak hanya sekedar kalau peristiwa yang akan diputus itu mirip dengan peristiwa yang diatur UU, tetapi juga apabila kepentingan masyarakat hukum menuntut penilaian yang sama.Analogi ini dapat disebut juga interprestasi ekstensif, karena memperluas pengertian.

2.   Penyempitan Hukum
Kadang-kadang peraturan hukum lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu (Rechtsvervijning).
Dalam menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian atau penyimpangan baru dari peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri. Contoh: Pasal 1365 KUHPerdata , isinya pihak yang salah wajib mengganti kerugian kepada yang menderita kerugian. Ada peristiwa tabrakan antara A dan B yang sama-sama berkecepatan tinggi dan sama-sama rusak. Apabila A menuntut ganti rugi terhadap B, maka B juga menuntut ganti rugi terhadap A. Dengan demikian kedua-duanya salah, sama-sama saling memberi ganti rugi sehingga terjadi suatu kompensasi.

3.    Argumentum a contrario
Penafsiran a contrario adalah penafsiran Undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan.
Penafsiran a contrario bertolak belakang dengan penafsiran analogis , dimana penafsiran analogis membawa hasil positif sedangkan a contrario hasilnya negatif. Contoh: Pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian. Apakah seorang juga harus menunggu selama 300 hari?. Berdasarkan penafsiran a contrario, jawabnya tidak. Alasannya, peraturan Pasal 34 KUHPerdata hanya berlaku khusus bagi seorang perempuan dan terhadap laki-laki ketentuan seperti ini tidak berlaku.







C.       ANALISIS TERHADAP TEORI HUKUM YANG DIGUNAKAN HAKIM DALAM PUTUSAN BEBAS YANG DAPAT DIAJUKAN KASASI

KASUS  RADEN SONSON NATALEGAWA :

Mahkamah Agung memberikan putusannya melalui putusan Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 atas nama terdakwa Raden Sonson Natalegawa. Amar Putusannya berbunyi sebagai berikut:
-      Menerima permohonan kasasi dari pemohon kasasi: JAKSA PADA KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA PUSAT dan RADEN SONSON NATALEGAWA tersebut.
-      Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi di Jakarta tanggal 7 Oktober 1982 No. 45/1982/PT. Pidana dan putusan Pengadilan Negeri di Jakarta Pusat tanggal 10 Pebruari 1982 N0. 33/1981/Pidana Biasa. MENGADILI LAGI, yang pada intinya berbunyi sebagai berikut:
·         Menyatakan bahwa terdakwa RADEN SONSON NATALEGAWA telah terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana: “KORUPSI”.
·         Menghukum terdakwa tersebut oleh karena itu dengan hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan.
·         Menetapkan bahwa dalam menjalankan hukuman tersebut lamanya terdakwa dalam tahanan sementara sebelum putusan ini menjadi tetap, akan dikurangkan segenapnya dari hukuman tersebut.
·         Memerintahkan terdakwa untuk ditahan.
·         Memerintahkan agar barang bukti berupa rumah-rumah dikembalikan kepada Bank Bumi Daya, Jakarta; perabot rumah tangga dikembalikan kepada pemiliknya. Menghukum pemohon kasasi/termohon kasasi/terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat ini ditetapkan sebesar Rp. 2500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
Dalam kasus Raden Sonson Natalegawa sebagaimana dipaparkan di atas tampak bahwa Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil negara dalam penegakan hukum yang sekaligus sebagai aparat penegak hukum (selaku sub unsur struktur dalam Sistem Peradilan Pidana) yang mengemban fungsi pokok penuntutan dan memperjuangkan hak pencari keadilan (justitiabelen) atau dengan kata lain sebagai pemegang hak pula untuk memperjuangkan keadilan dari pihak korban ataupun masyarakat pencari keadilan, benar-benar telah melaksanakan tugas dan fungsinya dalam hal ini melakukan koreksi atau fungsi kontrol terhadap kinerja institusi sub unsur struktur lainnya dalam Sistem Peradilan Pidana, yakni pengadilan (hakim) dalam memutus suatu perkara.
 Dalam kasus Raden Sonson Natalegawa ini, Jaksa Penuntut Umum telah menjalankan salah satu misinya, yaitu melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membebaskan terdakwa yakni dengan mengajukan permohonan upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi Jakarta dan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Langkah yang ditempuh oleh Jaksa Penuntut Umum dalam upaya memperjuangkan keadilan lewat upaya hukum tersebut ternyata tidak sia-sia, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum atas putusan bebas tersebut walaupun sebelumnya harus melalui berbagai problema yuridis seperti adanya kesalahan dari Pengadilan Tinggi Jakarta yang telah salah menerapkan hukum (salah menerapkan Pasal 67 KUHAP), bahwa Pengadilan Tinggi Jakarta tidak seharusnya menerima permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum atas putusan bebas (vrijspraak) oleh karena Pasal 67 KUHAP secara tegas tidak memperkenankan dilakukannya upaya hukum banding terhadap putusan bebas tersebut dan juga adanya kekeliruan dari Jaksa Penuntut Umum yang tidak semestinya mengajukan upaya hukum banding kepada pengadilan Tinggi atas putusan bebas tersebut.
Dalam kasus ini Mahkamah Agung telah melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan bawahan, yakni Mahkamah Agung telah memperbaiki mengenai kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah keliru di dalam menafsirkan istilah “melawan hukum”.
Di samping itu Mahkamah Agung juga telah melakukan koreksi terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang salah menerapkan ketentuan Pasal 67 dan Pasal 233 ayat (2) KUHAP. Dalam hal ini Mahkamah Agung sekaligus pula telah melakukan koreksi yakni memperbaiki kesalahan atau kekeliruan dalam cara mengadili yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta sehingga Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi tersebut oleh karena telah menerima permohonan banding atas putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Diterimanya permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas atas perkara RadenSonson Natalegawa tersebut menunjukkan bahwa Jaksa Penuntut Umum telah berhasil meluruskan jalannya proses hukum, yakni melakukan koreksi terhadap kinerja Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Mahkamah Agung. Langkah koreksi ini merupakan suatu upaya pengawasan atau kontrol antara sub sistem struktur peradilan pidana dalam penyelenggaraan proses peradilan pidana dan sebagaimana kita sadari bahwa proses hukum yang diemban dan dioperasionalisasikan oleh insan manusia tentunya tidak luput dari kekeliruan dan keterbatasan.
 Dengan dikabulkannya permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum oleh Mahkamah Agung terhadap putusan bebas tersebut berarti Jaksa Penuntut Umum telah berhasil mengembalikan porsi keadilan distributif, yakni adanya pendistribusian hak secara proporsional bagi semua pihak pencari keadilan sehingga dalam kasus ini dapat dirasakan terwujudnya asas persamaan di muka hukum, baik terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil negara, wakil insan pencari keadilan tampak mendapat kesempatan atau porsi yang sama dalam memperjuangkan haknya untuk memperoleh keadilan.
ANALISIS TEORI HUKUM YANG DIGUNAKAN

Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai kebijakan aplikasi kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas (vrijspraak) dapat pula dikaji dengan mempergunakan Teori Realisme Hukum. Aliran Realisme Hukum diakui sebagai salah satu teori yang berperan besar dalam pembentukan hukum melalui putusan pengadilan (di Indonesia dikenal dengan sebutan yurisprudensi). Aliran Realisme Hukum sangat intens mengamati proses sampai putusan pengadilan, yang akhirnya mengeluarkan berbagai rekomendasi untuk memperbaiki putusan pengadilan dan proses untuk pencapaian tersebut, antara lain, sebagai berikut:
1.  Adalah lebih baik dan lebih efektif jika kategori hukum semakin dipersempit, baik yang berkenaan dengan hukum substantif maupun hukum acara;
2. Penekanan terhadap pentingnya kedudukan personel pengadilan dan organisasi pengadilan dalam rangka mencapai putusan yang baik, disamping perlunya hakim-hakim spesialisasi;
3.  Lebih menekankan kepada pendekatan terhadap masalah-masalah hukum sebagai suatu alokasi resiko, utamanya terhadap kasus-kasus yang berkenaan dengan tidak terwakilinya para pihak dengan baik di pengadilan;
4.  Rekomendasi tentang perlunya hakim menelaah secara komprehensif terhadap masalah kebijaksanaan (policy) dalam kasus yang ditanganinya dan menggunakan putusan terdahulu yang bebas dari campur tangan dan pengaruh apapun sebagai acuan dalam memutus perkara tersebut;

Esensi Teori Realisme adalah untuk menemukan kebenaran akan penerapan hukum (dalam praktek) yang diperankan oleh pengadilan sehingga betul-betul tercipta kebenaran materiil lewat lahirnya sebuah putusan hakim (vonis) yang dapat memuaskan para pencari keadilan atau tercapainya kepastian, kemanfaatan dan keadilan sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri.
 Implikasi dari esensi Teori Realisme merambah perkembangan dunia praktisi hukum Indonesia. Dari fakta yang berkembang di Indonesia dalam pembentukan hukum melalui yurisprudensi (putusan hakim) menunjukkan bahwa Teori Realisme Hukum telah memberikan peran besar dalam pembangunan dan pembentukan hukum di Indonesia. Hal tersebut diperoleh melalui prilaku-prilaku (penemuan dan konstruksi hukum) Hakim dengan menempuh proses panjang dalam mekanisme peradilan hingga lahirnya sebuah vonis yang dikemudian hari dapat diikuti oleh Hakim-hakim berikutnya. Di negara kita, yurisprudensi tersebut telah mendapat posisi terhormat, yakni sebagai salah satu sumber hukum, dijadikan dasar serta acuan pula oleh hakim-hakim berikutnya dalam menangani kasus yang sejenis.
Demikian pula mengenai upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas, secara Hukum (Acara), telah tertutup jalan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas tersebut oleh karena secara yuridis normatif dibatasi oleh ketentuan Pasal 244 KUHAP. Akhirnya terjadi perkembangan dalam praktek, yakni terbukanya celah bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas tersebut, yaitu sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14- PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983. Dalam butir 19 lampiran keputusan tersebut, dinyatakan bahwa:
 “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.”










ANALISIS TERHADAP IUS CONSTITUENDUM

Dengan adanya yurisprudensi tersebut, dalam praktek peradilan pidana kita hampir semua perkara dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung, tidak terkecuali terhadap putusan bebas (vrijspraak). Kebijakan aplikasi kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas (vrijspraak) yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 (tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, khususnya butir 19), dalam praktek peradilan pidana kita ternyata Departemen Kehakiman RI, masih menimbulkan kesenjangan norma berupa terjadinya kekaburan norma (unclear norm/vague van normen) dan terjadinya konflik norma (conflict of norm/geschijld van normen) sehingga dalam KUHAP yang akan datang perlu dilakukan reformulasi terhadap upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum atas putusan bebas (vrijspraak) tersebut yakni Jaksa Penuntut Umum semestinya diberikan porsi atau hak untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas sehingga ada kepastian landasan justifikasi terhadap putusan bebas yang dimohonkan upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut.
Reformulasi upaya hukum kasasi oleh Jaksa penuntut Umum terhadap putusan bebas (vrijspraak) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan datang, hendaknya direkonstruksikan melalui Teori Hukum Pancasila. Munir Fuady mengatakan, bahwa Teori Hukum Pancasila memiliki versi substantif yang khas, yakni:
a. Sesuai kaidah agama (Sila Ketuhanan);
b. Mengandung unsur prikemanusiaan adil dan beradab;
c. Mengandung unsur persatuan Indonesia;
d. Sesuai kedaulatan rakyat;
e. Mengandung unsur keadilan sosial.


Selanjutnya B. Arief Sidharta menyatakan bahwa, “Cita hukum bangsa Indonesia adalah ada pada “Pancasila”,  dan Pancasila berada dalam sistem hukum .”Dengan demikian secara bertautan dan tidak terpisahkan antara Pancasila dan ide-ide keadilan menyatu dalam sumber hukum tertinggi, yakni Pancasila dengan menyebut sebagai “Keadilan Sosial”, yang secara inheren dapat pula disebut dengan istilah: “Keadilan Pancasila.”
Salah satu aplikasi dari keadilan Pancasila atau keadilan sosial tersebut hendaknya secara konkrit dapat tercipta melalui putusan pengadilan, yakni putusan pengadilan yang mengandung nuansa keadilan yang telah dapat diterima oleh pencari keadilan. Putusan bernuansa keadilan memang tidak mudah untuk didapat. Hal ini memerlukan mekanisme yang panjang lewat bekerjanya komponen sistem peradilan pidana baik menyangkut substansi, struktur dan budaya hukumnya.
Dalam penegakan hukum untuk terwujudnya tujuan hukum secara komprehensif, yakni: kepastian, kemanfaatan dan keadilan terutama keadilan yang hakiki, tidak hanya menggunakan sarana penal (hukum pidana) saja akan tetapi diperlukan juga sarana-sarana non penal, diantaranya memupuk rasa kesadaran hukum bagi semua warga masyarakat agar jangan melanggar hukum. Di luar sarana penal, sebagai langkah teoritis untuk penegakan hukum, menurut pakar sosiologis, Soerjono Soekanto, ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh dalam penegakan hukum, yakni:
1.    Faktor hukumnya sendiri;
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;
3.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4.    Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
5.    Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Terkait dengan faktor-faktor di atas, sebagai kunci keberhasilan penegakan hukum (law enforcement) yang dalam hal ini sasarannya adalah untuk mendapatkan putusan pengadilan yang bernuansa keadilan maka kelima faktor tersebut di atas, yakni berupa faktor hukumnya, penegak hukum, sarana atau fasilitas yang mendukung serta faktor masyarakat dan kebudayaan adalah merupakan faktor yang esensial sebagai penentu keberhasilan penegakan hukum yang adil (due process of law) sehingga tercipta suatu keadilan hukum yakni keadilan Pancasila yang dikenal dengan “Keadilan Sosial.”






















BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1.         Teori Realisme Hukum diakui sebagai salah satu teori yang berperan besar dalam pembentukan hukum melalui putusan pengadilan yang dikenal dengan yurisprudensi;
2.         Kasus Raden Sonson Natalegawa merupakan kasus pertama kalinya Hakim mengabulkan upaya hukum kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum atas putusan bebas. Inilah yang menjadi titik mula munculnya yurisprudensi tersebut.
3.         Penerebosan ketentuan norma hukum tersebut didasarkan pada keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Dengan demikian, bisa dikatakan terjadi konflik norma oleh karena peraturan perundang-undangan yang berada dalam tataran peraturan yang rendah telah mengesampingkan tataran peraturan yang lebih tinggi (Pasal 244 KUHAP) sehingga timbul kekaburan norma atau adanya norma yang tidak jelas mengenai kasasi;
4.         Untuk itu, demi terwujudnya kepastian hukum dalam tatanan hukum Indonesia maka Mahkamah Konstitusi telah merevisi Pasal 244 KUHAP menjadi “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain Mahkamah Agung Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan Kasasi kepada Mahkamah Agung”. Dengan demikian,  tidak lagi timbul kekaburan norma atau adanya norma yang tidak jelas mengenai kasasi.


B.       Saran

Adapun saran yang hendak penulis sampaikan dalam makalah ini bahwa penemuan hukum perlu untuk dilakukan oleh Hakim dalam menangani suatu permasalahan hukum demi mengisi kekosongan hukum yang ada sehingga putusan hakim dapat mewujudkan asas kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat.
























DAFTAR PUSTAKA

Ali,Achmad.2009.Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Perfadilan (Judicial Pridence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legispfrudence). Jakarta : Kencana Prenadamedia Group.
Mertokusumo,Sudikno.2012.Teori Hukum. Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka.
http://www.google.com: Nasional.News.Viva.co.id/News/Read/400962-MK-Perkuat-Dasar-Hukum-Jaksa-Kasasi-Vonis-Bebas













Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS PUTUSAN MK NOMOR 46/PUU-VIII/2010

MPLEMENTASI ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DALAM HUKUM INDONESIA

PANDANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES TENTANG THE RULE OF LAW