ANALISIS PUTUSAN MK NOMOR 46/PUU-VIII/2010
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI
NOMOR 46/PUU-VIII/2010
TENTANG STATUS ANAK DILUAR KAWIN
A.
Latar
Belakang
Sebagai
mkhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri karena senantiasa selalu
membutuhkan bantuan dari orang lain bahkan sejak manusia dilahirkan. Disamping
itu manusia selalu mempunyai naluri untuk hidup bersama dan saling berinteraksi
antar sesame manusia, termasuk untuk berkumpul dengan lawan jenisnya untuk
membentuk keluarga. Selain itu, ada penilaian umum bahwa orang yang berkeluarga
atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari pada
mereka yang tidak kawin.[1] Berhubung
dengan akibat yang sangat penting inilah dari hidup bersama, maka masyarakat
membutuhkan suatu peraturan hidup bersama ini yaitu mengenai syarat-syarat
untuk peresmian, pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya hidup bersama itu.[2]
Perkembangan
masyarakat sekarang ini menyebabkan tidak sedikit suatu perkawinan yang
dilakukan oleh seorang pria dan wanita tidak sah secara hukum positif tetapi
sah menurut menurut sebagian agama tertentu. Hal ini ini yang menjadi alasan
gugatan terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi untuk di judicial review.
Hj.
Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang pertama kali
menggugat Pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang
meminta agar puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui
sebagai anak dari Alm. Moerdiono mantan Menteri Sekretaris Negara di era
Presiden Soeharto. Machica dan Moerdiono melakukan perkawinan siri pada tanggal
20 Desember 1993 dan memperoleh anak laki-laki tersebut. Pada tahun 1998,
Machica bercerai dengan Moerdiono dan Moerdiono tidak mengakui Muhammad Iqbal
Ramadhan sebagai anaknya.
Pada
tahun 2010 Machica menggugat Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi untuk di judicial
review. Pasal 2 ayat (2) merumuskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut undang-undang yang berlaku sedangkan Pasal 43 ayat (1) merumuskan bahwa
anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarganya. Keberadaan 2 (dua) pasal di atas yang membuat Machica
merasakan ketidakadilan bagi dirinya dan kaum perempuan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai
berikut.
1. Bagaimana
analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak di Luar Kawin?
2. Apakah
Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi
masyarakat?
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Perkawinan
Sebagai
sebuuah Negara, tentu perkawinan di Indonesia tidak begitu saja dilakukan.
Perlu adanya suatu proses agar perkawinan itu ada jaminannya dari pemerintah.
Namun sebagai Negara kepulauan, yang terdapat banyak suku di Indonesia, yang
tentu saja memunculkan keaneka ragaman adat istiadat, etnis serta agama.
Sehingga untuk mencapai suatu kepastian dan kejelasan hukum, maka diperlukan
aturan yang bersifat nasional khususnya dibidang perkwinan tersebut.[3] Oleh
karena itu kehadiran suatu undang-undang tentang perkawinan diharapkan mampu
menghapuskan pluralisme-pluralisme hukum yang ada dalam masyarakat, sekaligus
menam[ung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum bagi perkawinan yangada
di Indonesia. Maka dari itu dibentuklah hukum materil yaitu UU No. 1 Tahun 1974
beserta hukum formalnya yaitu peraturan pelaksnaannya yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.[4]
Menurut
UU No. 1 Tahun 1974 pengertian
perkawinan adalah:
Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan
pengertian perkawinan tersebut di atas, jelas bhwa di dalam perkawinan itu
terjalin karena adanya ikatan lahir batin yang sangat kuat. Disamping itu
perkawinan hanya dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita, sehingga di
Indonesia tidak mengenal perkawinan sesama jenis. Pada dasarnya tujuan
perkawinan yaitu memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan
meendirikan sebuah kehidupan rumah tangga yang damai dan tentram.
B.
Analisis
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak di Luar Kawin
Rumusan
Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU perkawinan adalah sebagai berikut
Pasal 2 ayat (2)
merumuskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 43 ayat
(1) merumuskan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Kedua
pasal tersebut di atas yang digugat oleh Machica ke Mahkmah Konstitusi untuk
dilakukan judicial review karena
dianggap merugikan permpuan pada umumnya dan Machica pada khususnya. Kedua psal
di atas digugat karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1), Pasal
28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, dimana dalam UUD NRI 1945
dirumuskan sebagai beriktu
Pasal 28B
1.
Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah.
2.
Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28D
1.
Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Dalam
putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi pokok permohonan adalah sebagai
berikut.
Bahwa
para pemohon yang berkedudukan sebagai perorangan warga Negara Indonesia
mengajukan permohonan pengujian ketentua Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang pada intinya sebagai
berikut:
a.
Bahwa
menurut para pemohon, ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU
perkawinan menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi
para pemohon, khususnya yang berkaitan dengan status perkawinan dan status
hukum anak yang dihasilkan dari hasil permohonan Pemohon I
b.
Bahwa
hak konstitusional para pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam UU
perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan
pemohon I adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam Islam. Merujuk ke
norma konstitusional yang termaksud dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 maka
perkawinan Pemohon I yang dilangsungkan sesuai rukun nikah adalah sah tetapi
terhalang oleh Pasal 2 UU perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah menurut norma
hukum. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum
anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari perkawinan Pemohon I menjadi anak di
luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 43 ayat (1) UU
perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah tentu menimbulkan
permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan
sah.
c.
Singkatnya
menurut Pemohon, ketentua a quo telah
menimbulkan perlakuan yang tidak sama dihadapan hukum serta menciptakan
perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu menurut para Pemohon
ketentuan a quo dianggap bertentangan
dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD
NRI 1945.
Dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Mahkamah konstitusi
mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon yaitu terkait Pasal 43 ayat (1) UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”. Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal tersebut di atas bertentangan
dengan UUD NRI 1945 selama dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan
laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya. Masih dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 43 ayat
(1), Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal tersebut harus dibaca “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki ssebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat kita lihat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya
sebagai Negative Legislature tetapi
juga sebagai positive Legislature. Pada
prinsipnya putusan Mahkamah Konstitusi bersifat negative legislatur artinya dalam putusannya Mahkamah Konstitusi
hanya membatalkan atau menghapus undang-undang yang dianggap bertentangan
dengan UUD NRI 1945. Tetapi dalam perkembangannya batasan bagi Mahkamah
Konstitusi bahwa putusannya hanya bersifat negative
legislature tidak dapat dilakukan lagi sehingga putusan Mahakamah
Kosntitusi dapat bersifat positive
legislature artinya dapat membuat norma baru, seperti halnya dalam putusan
Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 ini.
Putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagai atau seluruh permohonan para
Pemohon tentunya dengan beberapa pertimbangan. Dalam putusan ini, pertimbangan
Mahkamah Konstitusi dalam memberikan putusan adalah sebagai berikut.
a. Pokok
permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan
perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan
tersebut, penjelasan umum angka 4 huruf b UU No. 1 Tahun 1974 tentang asas-asas
atau prinsip perkawinan menyatakan “bahwa
suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Berdasarkan penjelasan
UU No. 1 Tahun 1974 di atas nyatalah bahwa pencatatan perkawinan bukanlah
merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan dan pencatatan merupakan
kewajiban administrative yang diwajibkan berdasarkan ketentuan undang-undang.
b. Secara
alamiah, tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan
antara ovum dan spermatozoa. Oleh karena itu tidak tepat dan tidak adil
manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu perkawinan karena
hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan
tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki
yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan kehamilan tersebut dari
tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum
meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut sebagai bapaknya.
Dari
pertimbangan Mahkamah Konstitusi di atas, kelompok berpendapat bahwa Pasal 2
ayat (2) UU Perkawinan tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi karena jelas
bahwa pencatatan pernikahan bukan merupakan syarat mutlak sahnya perkawinan.
Pencatatan dimaksud hanya merupakan kewajiban adminstratif. Tujuan pencatatan
pernikahan adalah sebagai jaminan perlindungan, pemajuan, penegakkan dan
pemenuhan HAM yang merupakan tanggung jawab Negara dan harus dilakukan sesuai
dengan prinsip Negara hukum yang demokratis. Selain itu pencatatan perkawinan
juga dilakukan dengan tujuan sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan
yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas
di kemudian hari dan dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu
akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan
hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara
secara efektif dan efisien.
Berkaitan
dengan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, Mahkamah konstitusi mengabulkan karena
seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya hubungan
perkawinan akan tetapi dapat didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah
anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian terlepas dari
soal prosedur/adminitratif perkawinan anak yang dilahirkan harus mendapat
perlindungan hukum.
Implikasi
dari putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah lebih cenderung memberikan
perlindungan hukum bagi anak terutama anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
Salah satu permasalahan yang timbul jika Pasal 43 ayat (1) dipertahankan adalah
berkaitan dengan pengurusan akta kelahiran bagi anak tersebut. Seperti yang
kita ketahui, dalam akta kelahiran dicantumkan juga nama dari kedua orang tua
anak tersebut sehingga bagi anak yang lahir di luar perkawinan akan mengalami
kesulitan dalam pengurusan akta kelahiran karena tidak memiliki “ayah yang
jelas”. Dengan adanya putusan MK ini, seorang anak yang dilahirkan di luar
perkawinan tidak akan kesulitan dalam memperoleh akta kelahiran jika siapa yang
menjadi ayah biologisnya dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain meurut hukum.
C.
Keadilan
dan Kepastian Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Bagi
Masyarakat
Negara
Indonesia dalam konstitusinya menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi
seluruh warga negaranya. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI
1945. Putusan pengadilan harus memberikan rasa adil dan kepastian hukum bagi
masyarakat tidak terkecuali putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah
Konstitusi sifatnya adalah final dan mengikat. Dalam putusannya terkait status
anak diluar nikah ada beberapa pihak yang tidak setuju dengan putusan tersebut
karena alasan-alasan tertentu. Pihak yang tidak setuju disini kelompok
mengambil contoh salah satu hakim konstitusi Maria Farida Indrati dan Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Terhadap putusan ini, Maria Farida memiliki
alasan berbeda (concurring opinion)
adalah sebagai berikut:
a.
Merujuk
pada pengertian perkawinan pada UU perkawinan dan syarat sahnya perkawinan pada
Pasal 2 UU perkawinan, Pasal 2 UU perkawinan menimbulkan ambiguitas bagi
pelaksanaanya karena pencatatan yang dimaksud Pasal 2 ayat (2) UU a quo tidak ditegaskan apakah sekedar
pencatatan secara administrative yang tidak berpengaruh terhadap sah atau
tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan
masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau
tidaknya perkawinan yang dilakukan.
Keberadaan norma agama dan norma hukum dalam suatu peraturan
perundang-undangan yang sama, memiliki potensi untuk saling melemahkan bahkan
bertentangan. Dalam hal ini potensi untuk saling meniadakan terjadi antara
pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 2 ayat (2) UU perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1)
pada pokoknya menjamin bahwa perkawinan yang sah adalah menurut agama dan
kepercayaan masing-masing ternyata menghalangi dan sebaliknya juga dihalangi
oleh Pasal 2 ayat (2) yang pada pokoknya mengatur bahwa perkawinan akan sah dan
memiliki kekuatan hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang atau pegawai
pencatat nikah. Jika pasal 2 ayat (2) UU perkawinan dimaknai sebagai pencatatan
secara adminstratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya
perkawinan, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 karena
tidak terjadi penambahan pada syarat perkawinan. Seturut dengan itu, kata
“perkawinan” dalam Pasal 43 ayat (1) UU a
quo juga akan dimaknai sebagai perkawinan yang sah secara Islam atau
menurut rukun nikah perkawinan yang lima.
b.
Esensi
pencatatan, selain demi tertib administratsi, adalah untuk melindungi wanita
dan anak-anak. Syarat pencatatan perkawinan dimaksud dapat diletakkan
setidaknya dalam dua konteks utama, yaitu mencegah dan melindungi wanita dan
anak-anak dari perkawinan yang dilaksanakan secara tidak bertanggung jawab.
c.
Pada
kenyataannya, hingga saat ini masih terdapat perkawinan-perkawinan yang
mengabaikan UU No 1 Tahun 1974, dan hanya menyendandarkan pada syarat
perkawinan menurut ajaran agama dan kepercayaan tertentu sehingga Negara akan
mengalami kesulitan dalam memberikan perlindungan secara maksimal terhadap
hak-hak wanita sebagai istri dan hak-hak anak yang kelak dilahirkan dari
perkawinan tersebut.
d.
Indonesia
adalah Negara yang plural. Sebagai implikasinya tidak dapat dihindari
terjadinya friksi-friksi, baik sederhana maupun yang kompleks terkait
praktek-praktek hukum nasional, hukum agama, maupun hukum agama. Untuk
menghindari friksi-friksi tersebut Negara menghadirkan hukum nasional yang
berusaha untuk menjadi payung pluralism hukum.
e.
Potensi
kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 bagi wanita
(istri) sangat beragam tetapi yang terpenting apakah kerugian tersebut dapat
pulih atau tidak. Perlindungan Negara terhadap pihak-pihak dalam perkawinan
terutama terhadap wanita sebagai istri, hanya dapat dilakukan jka perkawinan
dilakukan secara sadar sesuai dengan UU 1/1974 yang salah satu syaratnya adalah
dilakukan pencatatan sesuai peraturan perundang-undangan.
f.
Perkawinan
yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 juga memiliki potensi merugikan anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut.
Selaian
Maria Farida Indrati, ketua MUI, KH. Makruf Amien menyatakan bahwa putusan MK
sangat kontrovesial di kalangan umat Islam dan menimbulkan kegelisahan luar
biasa, melanggar syariat Islam dan merubah tatanan Islam. Akibat dari putusan
MK tersebut sama saja mendudukan anak hasil zina sama dengan kedudukan anak
yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah baik dari segi memperoleh nafkah
maupun hak waris. Untuk melindungi hak-hak anak hasil zina tidak perlu dengan
memberikan ‘hubungan perdata’ kepada laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya.
Akan tetapi perlindungan tersebut dengan menjatuhkan hukuman (ta’zir) kepada
laki-laki tersebut berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut
atau memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah,”
Pendapat
kelompok berkaitan dengan putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, Dalam hal ini,
kelompok setuju dengan putusan MK. Menurut kelompok, anak yang dilahirkan
diluar perkawinan yang sah harus diakui terutama oleh laki-laki sebagai
bapaknya dengan pembuktian-pembuktian yang dilakukan. Sehingga anak-anak tersebut bisa memperoleh
haknya sebagai warga negara terutama hak mengenai mendapat nafkah dan hak
waris. Komisi Perlindungan anak mengungkapkan hampir 50 juta anak di Indonesia
tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena
pernikahan tidak sah atau tercatat dikawin siri, angka ini hampir separuh dari jumlah anak di
bawah 5 tahun yang ada di Indonesia.
Anak
luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut
undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang
berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit. mengingat
doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam
3 kelompok, yaitu anak luar
kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan
oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina
dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan
pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata. Perbedaan antara anak luar kawin dan
anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan
kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (ada dalam
ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak.
Dengan
demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari
hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang
kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan
untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah
oleh ayahnya .
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Mahkamah konstitusi mengabulkan
sebagian permohonan para Pemohon yaitu terkait Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal tersebut di atas bertentangan dengan UUD NRI
1945 selama dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Masih dalam
putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 43 ayat (1), Mahkamah Konstitusi
menyatakan pasal tersebut harus dibaca “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki ssebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat kita lihat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya
sebagai Negative Legislature tetapi
juga sebagai positive Legislature.
Pada prinsipnya putusan Mahkamah Konstitusi bersifat negative legislatur artinya dalam putusannya Mahkamah Konstitusi
hanya membatalkan atau menghapus undang-undang yang dianggap bertentangan
dengan UUD NRI 1945. Tetapi dalam perkembangannya batasan bagi Mahkamah
Konstitusi bahwa putusannya hanya bersifat negative
legislature tidak dapat dilakukan lagi sehingga putusan Mahakamah
Kosntitusi dapat bersifat positive
legislature artinya dapat membuat norma baru, seperti halnya dalam putusan
Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 ini.
Negara
Indonesia dalam konstitusinya menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi
seluruh warga negaranya. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI
1945. Putusan pengadilan harus memberikan rasa adil dan kepastian hukum bagi
masyarakat tidak terkecuali putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah
Konstitusi sifatnya adalah final dan mengikat. Dalam putusannya terkait status
anak diluar nikah ada beberapa pihak yang tidak setuju dengan putusan tersebut
karena alasan-alasan tertentu. Pihak yang tidak setuju disini kelompok
mengambil contoh salah satu hakim konstitusi Maria Farida Indrati dan Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI).
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Efendi Parangin Angin,
2010, Hukum Waris, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada.
Sayuti
Thalib, 2009, Hukum Kekeluargaan
Indonesia, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.
Wirjono
Prodjodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bandung, Sumur Bandung.
Website:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=114745&val=5265
[1]
Sayuti Thalib, 2009, Hukum Kekeluargaan
Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, cet ke 5, hlm. 48
[2][2]
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum
Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, cet. Ke 7, hlm. 7
[3]
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit. hlm. 7
[4]
Efendi Parangin Angin, 2010, HUkum Waris,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 1
Komentar
Posting Komentar